TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Berawal dari kesepakatan beberapa orang tua yang ingin memberikan ruang bagi anak-anak untuk belajar, maka berdirilah sebuah Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) pada tahun 2003. Komunitas belajar ini diharapkan berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air, khususnya mulai dari lingkungan sekitar terlebih dahulu. Nama Qaryah Thayyibah sendiri berarti desa berdaya, yang berada di kelurahan Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.

"Dulu waktu pertama kali terbentuk itu masih berupa sekolah alternatif formal, semacam sekolah terbuka gitu. Dengan sekolah induknya SMP N 10 Salatiga. Anak saya juga ikut dalam sekolah terbuka ini dan memang banyak juga memberikan prestasi karena belajarnya lebih intensif," kata Pak Din ketua Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).


Lalu beberapa tahun berikutnya mulai mengajukan ke Dinas Pendidikan Salatiga untuk bergabung dalam Pendidikan Luar Sekolah, program pendidikan kesetaraan. Sampai sekarang berubah lebih menerapkan konsep pendidikan yang lebih memerdekaaan, yaitu sesuai dengan minat dan keinginan dari murid itu sendiri. Demikian cerita Ahmad Baharudin atau Pak din ketua dari Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah itu.

Ia mengatakan perubahan itu harus terus dilakukan, karena perkembangan dari segi teknologi semakin pesat. Termasuk pada sistem pendidikan itu sendiri, sudah tidak bisa lagi melakukan konsep belajar yang klasikal. Pengembangan kreativitas dari murid itu sendiri yang harusnya menjadi fokus dalam pendidikan.

“Pendidikan itu ya kehidupan itu sendiri, bukan hanya berada di sekolah saja. Tidak terbatas akan sarana yang diberikan, tetapi harusnya di mana saja dan kapan saja terjadi proses belajar itu. Kalau hanya menekankan pada sarana tentu akan memakan cost atau biaya yang besar. Apalagi dengan dukungan dari perkembangan teknologi yang begitu pesat. Ini harus dimanfaatkan agar tidak tertinggal dari negara-negara besar lain,” lanjutnya.

Sampai saat ini pun, lokasi yang digunakan sebagai kelas KBQT adalah rumah pria yang biasa dipanggil Pak Din itu sendiri. Saat ini terdapat 35 siswa yang dibagi menjadi 6 kelas yang masing-masing didampingi oleh 1 orang wali kelas.

Wali kelas pun hanya terlibat sebagai fasilitator, sedangkan untuk materi dan jadwal diserahkan kembali pada keinginan murid. Disediakan juga internet unlimited access dengan wireless network untuk mendukung kegiatan belajar.

Beberapa waktu lalu dalam Pelatihan Refreshment Asesor Badan Akreditasi Nasional (BAN) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Non Formal (PNF) Jateng Tahun 2019 Angkatan II, Pak Din mengatakan akreditasi lebih menekankan pada aspek performance dibandingkan compliance. Bukan lagi berapa kelas dan gedung yang dimiliki, tapi bagaimana memanfaatkan sarana yang sudah ada untuk dapat menjadi sebuah materi untuk belajar. Misalnya memanfaatkan sawah yang berada dekat dengan lokasi sebagai pembelajaran tentang ekosistem maupun bercocok tanam.

“Kami memang membebaskan anak-anak untuk menentukan sendiri apa yang ingin dipelajari, apa yang menjadi minat masing-masing. Karena kecerdasan anak juga berbeda-beda, ada yang memang cerdas dalam bidang logis matematik, ada yang suka dengan bidang bahasa, atau juga bidang seni seperti menggambar atau menyanyi," tuturnya.

Di sini murid tidak hanya didekte dan diberikan berbagai macam peraturan, tetapi murid ikut terlibat dalam menentukan peraturan dan jadwal maupun materi pembelajaran. Guru atau wali murid hanya sebagai pendamping, yang harus memahami metodologi pemikiran pendidikan kritis dan terbuka. Meskipun sudah menguasai materi, namun tetap menempatkan murid sebagai teman belajar.

Murid didampingi untuk memahami materi, bukan menghafal. Materi belajar pun disesuaikan dengan kebutuhan, kontekstual dan mempergunakan lingkungan dan pengalaman sehari-hari sebagai media belajar. Kondisi kelas diupayakan selalu demokratis, yaitu pemberian sanksi dari kesepakatan murid sendiri, begitu pun dengan apresiasi terhadap murid yang berprestasi.


Aini Zulfa, satu di antara pendamping KBQT mengatakan pendidikan di KBQT setara jenjang SMP dan SMA, dengan status sebagai pendidikan kesetaraan (Paket B dan C). Anak-anak bebas bersepakat tentang peraturan dalam kelas, mulai dari jam belajar, jadwal pertemuan, hingga sanksi konstruktif bagi siapapun yang melanggar kesepakatan bersama.

“Kelompok atau kelas berdasarkan minat masing-masing anak, jadi bisa saja berubah tiap tahunnya. Untuk anak-anak kelas 1 SMP biasanya masih bereksplorasi mencoba semua kelas. Tapi untuk tahun berikutnya pasti sudah tahu mau fokus di bidang apa. Jadi misal ada yang tertarik dengan otomotif, gitu bisa bikin pengumuman ada yang mau ikut kelas dia nggak, kalau nggak ada ya tetap ada kelas otomotif isinya dia aja gitu,” jelasnya.

Saat ini ada 7 kelas yang sedang berjalan dalam KBQT, kelas gambar, musik, teater, dan lain-lain. Setiap kelas ditemani oleh seorang pendamping sebagai wali kelas. Jika di sekolah formal guru hanya menjadi sumber ilmu, di sini guru hanya menemani murid untuk mengeksplorasi pengetahuan dan keterampilan masing-masing anak. Menemani proses belajar, membantu mengarahkan passion, mempersiapkan kreasi karya, dan juga mengevaluasi pencapaian siswa secara periodik.

“Jadi memang akan sedikit sulit beradaptasi kalau ada anak yang baru pindah dari sekolah formal ke KBQT yang non formal. Karena pasti awalnya nggak tahu harus ngapain soalnya nggak ada jadwal yang diberikan, mereka harus buat jadwal sendiri. Tapi biasanya setelah setahun akan paham dengan sendirinya ternyata begini toh sekolah non formal itu,” ujar almuni KBQT itu.

Ia menambahkan tidak ada ujian semester dalam KBQT, tetapi terdapat sebuah tugas akhir yang harus dibuat oleh anak-anak. Tugas akhir tersebut adalah sebuah karya yang dibuat sesuai dengan bidang yang disukai. Misalnya ada yang membuat puisi, cerita pendek, kerajinan tangan, hingga film pendek. Kemudian untuk ujian nasional menggunakan Paket B dan Paket C untuk mendapatkan ijazah.(ifp)

*Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Menengok Kegiatan Sekolah Nonformal Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah di Kota Salatiga
Penulis: Ines Ferdiana Puspitari
Editor: Catur waskito Edy