Oleh: Ahmad Bahruddin

Selamat memperingati Hardiknas, milad Ki Hajar Dewantara!

KALAU Paulo Freire yang lahir pada tanggal 19 September 1921 disebut-sebut sebagai tokoh pendidikan kritis dengan bukunya yang sangat terkenal "Pendidikan Kaum Tertindas" (Pedagogy of The Oppressed), Ki Hajar Dewantara yang lahir 31 tahun sebelumnya justeru besar karena melawan/mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Penjajah yang menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri kita sendiri yang telah dirampas kemerdekaannya. Muncullah tulisan berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "Seandainya Aku Seorang Belanda". Suatu tulisan yang sangat terkenal dan membakar jenggot pemerintah Belanda sehingga membuat Ki Hajar Dewantara dibuang ke Bangka.

KALAU Ivan Illich yang lahir 36 tahun setelah Ki Hajar Dewantara sangat kritis pada konsep persekolahan yang kapitalistik dan terjebak pada komersialisasi pengetahuan, melalui bukunya yang sangat terkenal “Deschooling Society” (diterjemahkan oleh Sonny Keraf dengan “Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah”), maka Ki Hajar Dewantara sudah mengkritisinya sekaligus mengajukan alternatif konsep “taman” dan lahirlah “Taman Siswa”.

KALAU Jean Piaget, Lev Vygotsky dan lainnya yang terkenal dengan pemikiran constructivism-nya memosisikan siswa sebagai subyek yang membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan, dan mengharuskan guru untuk memfasilitasi proses pembelajaran, maka Ki Hajar Dewantara juga sudah mengajukan konsep yang komprehensif dan amat sangat terkenal, Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Artinya: dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan, di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik.

Artinya; Ki Hajar Dewantara adalah praktisi sekaligus pemikir besar pendidikan yang sangat visioner bahkan berkesesuaian dengan era digital, eranya para millennials ini.

Anak-anak negeri sebagai warga penghuni era digital ini harus didorong untuk mengembangkan imajinasinya, didorong berfikir kritis transformatif pada segala hal yang dihadapi. Anak-anak harus diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan-gagasan inovatifnya, dan mendiskusikannya dengan teman-temannya. Negara harus memfasilitasi kebutuhan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan basis kecerdasan anak. Sehingga ke depan anak akan paham dan kenal potensi diri dan lingkungannya serta berkemampuan optimal mengelola sumberdaya lingkungannya (Local Living Context Based Learning).

Dalam berbagai kesempatan, Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Dikmas Harris Iskandar juga menyampaikan bahwa sudah saatnya kita semua mengubah metafor. Sistem pendidikan kita jangan lagi dilihat sebagai sistem industri, pabrik, production model, input-proses-output, tapi ibarat sebuah taman yang menyenangkan, seperti konsepsi Ki Hajar. Agak mirip dengan Kent Robinson yang memilih metafornya sistem pertanian organik. Untuk mengelola "taman" yang baik, maka kita perlu merawat kesehatan tanaman dan tanahnya serta menjaga ekologi yang sesuai. Keren kan?

Maka paradigma akreditasi memang perlu (dan sudah) hijrah dari compliance yang sekedar kelengkapan administratif ke performance. Dalam berbagai kesempatan, Ka-Balitbang Totok Suprayitno menyampaikan pandangan bahwa makna inti dari performance itu adalah learning outcome. Bahwa akreditasi musti fokus pada pencarian keragaman cara yang kreatif memerdekakan dan mencerdaskan warga belajar, meskipun selama ini justru dianggap “melanggar”. Pak Totok pernah belajar kepada kawan John Rachel di Papua yang mempraktikkan pendidikan progresif berbasis konteks kehidupan Papua. Jangan-jangan tanpa compliance justeru bisa performance, Jangan-jangan yang selama ini kita nyatakan tidak layak, ternyata justeru yang baik dan benar (The Benefit of The Doubt).

Pada kesempatan diskusi di "markas" Badan Akreditasi Nasional (BAN) bulan lalu, ketika pak Totok sekilas menemukan redaksi kisi-kisi performance yang masih memberikan penilaian "bagus" pada asesi yang berhasil mengantarkan warga belajarnya medapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, beliau langsung protes “keras”. Alasannya, ukuran keberhasilan pendidikan bukan mendapatkan pekerjaan seperti itu, tapi piawai dan kreatif serta memiliki ide-ide inovatif mengelola sumber daya yang ada.

Nah, hari ini (2 Mei 2019) kita mulai menyelenggarakan Training of Trainers (ToT) Asesor BAN PAUD dan Pendidikan Non Formal berketepatan dengan Hardiknas. Instrumen "performance" itu telah rampung kita rumuskan dan siap diterapkan untuk satuan-satuan PNF di Nusantara Raya ini. Sejarah gerakan pencerdasan anak bangsa kita telah dimulai! Jayalah bangsaku, jayalah negeriku, Indonesia!


Salam,
Bahruddin
Salatiga, 2 Mei 2019