Oleh: Zia Ul Haq*

Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ketika diwawancarai Tempo bulan lalu menyiratkan kegeraman. Ia geram terhadap hasil survei yang dirilis oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari survei terhadap 2.237 guru beragama Islam, ditemukan bahwa 14,28 persen guru memiliki tingkat opini radikal dan sangat radikal. Survei yang dirilis pada 16 Oktober lalu ini menyimpulkan bahwa 63 persen guru muslim intoleran.

Jelas saja Muhadjir geram dengan menuduh hasil survei itu sebagai kesimpulan yang ‘ugal-ugalan’. Ia menganggap bahwa survei itu tidak menunjukkan keterwakilan responden, yakni guru beragama Islam yang berjumlah 2,39 juta orang. Ia juga mengajukan hasil riset-riset terdahulu terhadap umat Islam Indonesia sebagai perbandingan. Yakni hasil survei dari Setara Institute yang menyimpulkan bahwa 81 persen responden tidak sepakat mengganti Pancasila sebagai dasar negara, juga hasil survei Wahid Foundation bahwa 72 persen responden menolak tindakan radikal. Belum lagi instrumen survei yang menurutnya harus jelas posisi sosial dan psikologis responden. Kegeraman Muhadjir ini bisa dimaklumi, sebab ia menganggap hasil survei ini sebagai temuan yang serius. Di sisi lain PPIM sendiri belum bisa memenuhi undangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk berdiskusi.

Terlepas dari kritik Muhadjir, hasil survei PPIM ini merupakan temuan yang penting. Setidaknya temuan ini menyajikan data baru sehingga bisa melengkapi data-data hasil survei sebelumnya. Minimal, dari data ini bisa dibaca bahwa guru beragama Islam di Indonesia memiliki tingkat fanatisme yang tinggi terhadap agamanya. Hal ini menjadi persoalan serius. Fanatisme tanpa diimbangi dengan pemahaman yang utuh dapat menjadi pemantik intoleransi. Sikap ekstrim dalam menempatkan kepercayaan dapat mengancam kehidupan toleransi. Karena itu sosialisasi pemahaman agama yang hakiki dalam menghadapi keragaman menjadi faktor krusial untuk mengatasi masalah intoleransi. 

Dalam kritiknya, Muhadjir juga menyebutkan bahwa tanggung jawab menghadang intoleransi di sekolah adalah salah satu tugas vital guru agama. Para guru agama selain mengajar pelajaran agama, menurutnya, juga harus memberikan pencerahan terhadap sesama guru, terutama yang terindikasi intoleran. Jika memang Muhadjir serius tentang tugas vital guru agama dalam menjaga toleransi, maka perlu adanya survei khusus yang mengukur tingkat kompetensi keilmuan guru agama. Perlu diukur berapa persen guru agama yang memahami materi-materi keagamaan yang diajarkan. Jangan sampai ada temuan yang menunjukkan ada banyak guru agama ternyata tidak lancar membaca Qur’an, tidak paham rukun shalat, tidak mengerti pembatal puasa dan seterusnya.

Survei tingkat pemahaman terhadap ajaran agama ini juga layak ditujukan bagi responden yang lebih luas, yakni guru beragama Islam, lebih baik lagi terhadap umat Islam di Indonesia. Survei semacam inilah yang berkali-kali diusulkan oleh KH. Mustofa Bisri dalam berbagai kesempatan pengajian di Krapyak, Yogyakarta. Yakni survei untuk mengukur tingkat pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap ajaran agamanya, sehingga hasilnya akan sangat berguna menjadi pemetaan dakwah dan kepentingan edukasi. Tentu saja survei semacam ini bisa dikerjasamakan antara pihak PPIM, Wahid Foundation, Setara Institute, terlebih Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Agama.

Praktek Pendidikan yang Tidak Toleran


Ada satu hal yang agaknya luput dari pihak-pihak di atas berkaitan dengan tema intoleransi. Bahwa intoleransi keberagamaan di dunia pendidikan hanya merupakan masalah ranting sebagai akibat dari akar masalah yang lebih serius. Yaitu budaya intoleransi dalam proses pembelajaran di dunia pendidikan kita. Berupa budaya penyeragaman yang begitu masif dan sistematis, baik dalam penentuan minat belajar, subyek belajar, standar kompetensi, parameter evaluasi, bahkan penampilan. Padahal jika mau menelisik lebih dalam lagi, fenomena penyeragaman semacam ini justru menjadi katalis yang sangat kuat bagi sikap intoleran dalam hal apapun.

Pengharusan agar siswa menguasai semua bidang mata pelajaran merupakan bentuk intoleransi (jika tidak ingin menyebutnya sebagai penjajahan) terhadap minat dan kecenderungannya. Penyeragaman busana yang diterapkan setiap hari di sekolah juga menentang fitrah keberagaman dalam kehidupan nyata. Belum lagi standar penilaian yang disamakan terhadap semua siswa tanpa memperhatikan lokalitas dan kondisi belajar siswa, tentu merupakan masalah intoleransi yang tidak bisa dianggap sepele. Padahal minat belajar, kondisi sosial, dan kecenderungan siswa adalah potensi khas yang tidak bisa disamakan, juga tidak manusiawi jika diseragamkan. Sedangkan Ki Hajar Dewantara sudah mengarahkan kita jauh-jauh hari; janganlah menyatukan apa yang tidak bisa disatukan.

Pengamalan Toleransi di KBQT Salatiga

Praktek dan lingkungan belajar yang merdeka dengan sendirinya akan membentuk sikap toleran dalam segala aspek, tak hanya toleransi antar agama. Sebagaimana terwujud dalam proses belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) Salatiga. Sebuah ruang belajar berbasis komunitas di kota yang menjadi salah satu daerah paling toleran di Indonesia. Komunitas ini mengedepankan kemerdekaan berpikir bagi para siswanya, dengan cara belajar yang sangat dinamis, serta mengakui dan menghargai keragaman berpikir warga belajarnya.  Praktis, tidak ada penyeragaman dalam bentuk apapun, termasuk media dan metode belajar. Seluruh warga belajar berhak menentukan minat belajarnya, sekaligus menerapkan metode paling nyaman untuk mereka belajar. Setiap warga belajar, melalui kesepakatan kolektif, saling mengevaluasi dan mendisiplinkan diri terkait dengan target-target belajar yang juga mereka buat sendiri. 

Lalu apa tugas guru? Di komunitas ini guru disebut sebagai ‘pendamping’ yang bertindak sebagai ‘modin’ (motivator dan dinamisator). Intervensi pendamping sebatas menjaga atmosfer belajar agar tetap kondusif dan selalu mengarah pada hal-hal yang produktif. Selebihnya dikembalikan kepada warga belajar. Tidak ada penyeragaman di KBQT, toh misal ada kegiatan atau hal-hal yang bersifat seragam, semuanya dilandasi oleh kesepakatan. Sama sekali tidak ada yang memaksa dan terpaksa.

Dalam kaitannya dengan toleransi beragama, KBQT tidak memiliki agenda khusus semacam ‘sosialisasi toleransi umat beragama’. Baru-baru ini KBQT menggelar kegiatan belajar bersama SMA Kolese De Britto Yogyakarta yang agenda utamanya adalah berbagi dan berkreasi. Tidak ada sedikitpun tema tentang toleransi beragama, namun sikap toleran akan tumbuh dengan sendirinya. Kegiatan kesenian di luar KBQT juga kerap diikuti warga belajar. Begitu pula kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, lingkungan dan kreativitas antar komunitas. Semua kegiatan yang melibatkan berbagai pihak dari beragam latar belakang tersebut secara otomatis menjadi ‘media tanam’ yang ideal untuk benih-benih toleransi.

Hal semacam ini agaknya menjadi model yang tepat untuk program penanaman toleransi di sekolah-sekolah maupun masyarakat pada umumnya. Mungkin memang perlu adanya sosialisasi atau bahan ajar tentang toleransi di sekolah, baik kepada siswa maupun guru. Namun upaya yang seharusnya lebih digiatkan adalah pelaksanaan program-program strategis yang melibatkan berbagai latar belakang. Tentu saja, didahului dengan membuka pintu gerbang kemerdekaan bagi siswa untuk mengeksplorasi potensinya, tanpa penyeragaman. 

Jika sistem pendidikan penyeragaman ala pabrik terus dipertahankan, agaknya persoalan intoleransi akan susah diurai. Kementerian Pendidikan tentu tidak mau blunder, bahwa ternyata penyeragaman di lingkungan sekolah sepanjang sejarah pendidikan Indonesia justru menjadi biang kerok atas pembentukan cara pandang intoleran dalam masyarakat.

*Penulis adalah warga belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, Salatiga
Esai ini merupakan hasil diskusi penulis dengan Ahmad Bahruddin (pendiri KBQT Salatiga) serta para pendamping KBQT sebagai tanggapan atas survey PPIM UIN Syarif Hidayatullah tentang intoleransi guru muslim serta kritik Menteri Pendidikan Muhadjir Efendi.