Pendiri Qaryah Thayyibah (QT) asal Salatiga, Jawa Tengah, Ahmad Bahruddin [SHNet/Ist]
SHNet, Jakarta – Tokoh pendidikan alternatif asal Salatiga, Jawa Tengah, Ahmad Bahruddin membuat catatan pendidikan terkait Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati Indonesia hari ini, Senin (2/5). Dalam catatannya, pendiri lembaga pendidikan Qaryah Thayyibah (QT) ini menyebutkan bahwa Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh yang sangat visioner. Pemikiran tokoh pendidikan Indonesia tersebut menurutnya bahkan tetap sesuai dengan perkembangan zaman di masa kini yang telah memasuki era digital.


“Ki Hajar Dewantara adalah praktisi sekaligus pemikir besar pendidikan yang sangat visioner, bahkan berkesesuaian dengan era digital, eranya para millennials ini,” tulis Bahruddin dalam catatannya yang dimuat di akun Facebook-nya.

Ia berpendapat, pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia tersebut bahkan lahir jauh lebih dulu dibandingkan dengan pemikiran tokoh-tokoh pendidikan dunia ternama, seperti Paulo Freire, Ivan Illich, Jean Piaget, dan Lev Vygotsky. Ia memaparkan, kalau Paulo Freire yang lahir pada tanggal 19 September 1921 disebut-sebut sebagai tokoh pendidikan kritis dengan bukunya yang sangat terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), Ki Hajar Dewantara yang lahir 31 tahun sebelumnya, juga besar karena sikapnya yang kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda.

“Ki Hajar Dewantara mengkritisi pemerintah kolonial Belanda yang menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri kita, yang justru telah dirampas kemerdekaannya,” kata Bahruddin.

Ki Hajar Dewantara kemudian bahkan membuat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Seandainya Aku Seorang Belanda. Bahruddin mengingatkan, tulisan tersebut sangat terkenal dan telah “membakar jenggot” pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar Dewantara kemudian dibuang ke Bangka.

Bahruddin juga mencontohkan Ivan Illich. Tokoh yang lahir 36 tahun setelah Ki Hajar Dewantara tersebut menurutnya sangat kritis pada konsep persekolahan yang kapitalistik dan terjebak pada komersialisasi pengetahuan. Ivan Illich pun menulis bukunya yang sangat terkenal Deschooling Society yang diterjemahkan Sonny Keraf dengan judulnya Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, maka Ki Hajar Dewantara sudah mengkritisinya sekaligus mengajukan alternatif konsep “taman” dan lahirlah Taman Siswa.

Bahruddin selanjutnya memaparkan Jean Piaget dan Lev Vygotsky yang terkenal dengan pemikiran konstruksivisme-nya. Pemikiran tokoh tersebut memposisikan siswa sebagai subjek yang membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal. Menurut mereka, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan dan mengharuskan guru memfasilitasi proses pembelajaran.

Ia mengingatkan, Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara sudah mengajukan konsep yang komprehensif yang amat sangat terkenal: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Bahruddin menjelaskan, arti konsep tersebut adalah dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan; di tengah atau di antara murid, guru harus dapat menciptakan prakarsa dan ide; dan di depan, seorang pendidik harus mampu memberi teladan atau contoh tindakan yang baik.

Terkait konsep pendidikan warisan Ki Hajar Dewantara, Bahruddin berpendapat, anak-anak negeri sebagai warga penghuni era digital saat ini harus didorong untuk mengembangkan imajinasinya, dan didorong berpikir kritis transformatif pada segala hal yang dihadapi.

“Anak-anak harus diberi kesempatan menyampaikan gagasan-gagasan inovatifnya, dan mendiskusikannya dengan teman-temannya,” kata Bahruddin.

Menurutnya, negara harus memfasilitasi kebutuhan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan basis kecerdasan anak. Dengan demikian, ke depan anak akan paham dan kenal potensi diri dan lingkungannya, serta berkemampuan optimal mengelola sumber daya lingkungannya (Local Living Context Based Learning).

*Sumber: Sinar Harapan