Oleh: Sujono Samba (Pendamping Belajar)

Hampir enam belas tahun bergabung (sejak Juli 2003), paling tidak bagi saya, model pendidikan yang dibangun KBQT ini telah menjawab kegelisahan saya tentang praktik pembelajaran dalam sistem persekolahan kita yang cenderung dingin dan kaku. KBQT mencoba mengurai benang kusut dalam praktik persekolahan yang dalam banyak hal dipandang telah ‘melenceng’ dari substansi. Komunitas ini telah melakukan berbagai terobosan yang saya sebut revolusi paradigma dalam pembelajaran.

Banyak yang terkejut ketika KBQT menerapkan himbauan bahwa guru (yang di komunitas ini disebut ‘pendamping’) sebaiknya tidak mengajar, tidak mengarahkan, tidak membimbing dan tidak menilai murid. Mengapa? Ketika hal-hal tersebut diterapkan, dampaknya justru akan membatasi daya imajinasi dan kreatifitas anak. Keberhasilan pendidikan bukan ketika guru berhasil menaklukkan murid sehingga selalu mengikuti apa yang diinginkan guru, tetapi bagaimana guru mampu memberi ruang yang seluas-luasnya sehingga anak leluasa berimajinasi dan berpikir kritis, bahkan berani mengatakan tidak kepada guru karena mempunyai pendapat yang berbeda. Kondisi ini menuntut guru untuk terus menerus belajar sehingga terjadi proses belajar bersama antara guru dan murid. Semua guru, semua murid.

Diskusi, kolaborasi, problem solving dan gelar karya menjadi pilihan pendekatan dalam proses belajar. Pendekatan ini akan memacu semua menjadi aktif dan kreatif, saling memberi dan saling mengapresiasi. Dalam proses pembelajaran, KBQT menghindari pendekatan transfer of knowledge dari guru kepada murid. Tugas guru yang terpenting adalah menjadi teman/pendamping yang baik bagi anak dalam belajar. Tugas selanjutnya adalah mempercayai, mendukung, menyemangati dan mengapresiasi anak belajar.



Pembelajaran Berpusat Pada Murid (Student Centered Learning) diterapkan secara komprehensif. Murid belajar adalah segalanya, bukan murid diajar. Tidak dibenarkan ada aturan yang justru akan membatasi anak belajar. Mulai dari kurikulum, target-target yang ingin dicapai, jadwal belajar, sampai evaluasi, semua disusun oleh anak. Anak benar-benar ditempatkan sebagai subyek belajar, bukan sebagai obyek pengajaran. Murid bukan sebagai obyek ambisi guru, tetapi ambisi murid harus selalu didukung dan diapresiasi. 

Dari sisi teori, pilihan KBQT tentang pengertian pendidikan cenderung pada aliran konstruktivisme yang memberi keleluasaan kepada murid dalam membangun kebermaknaan sesuai dengan pemahaman yang telah mereka miliki. Belajar adalah proses memecahkan masalah dalam rangka memenuhi kebutuhan. Maka kurikulum pun didiskusikan dan dirumuskan berdasarkan kebutuhan murid. Sehingga lahirlah sebuah anekdot; “Biarlah berganti-ganti kurikulum, kurikulum kami tetap KBK (Kurikulum Berbasis Kebutuhan).” Belajar akan efektif dan bermakna ketika sesuai dengan kebutuhan yang diekspresikan dalam karya nyata. Slogan “Kita berkarya maka kita ada!” adalah ungkapan yang selalu digelorakan anak-anak KBQT.

Kebebasan menjadi dasar dalam proses belajar di KBQT. Namun demikian, ada prinsip-prinsip tata nilai yang dibangun dalam kebebasan tersebut, yaitu kemandirian, kebersamaan dan kemanfaatan. Prinsip inilah yang membingkai kebebasan dalam praktik pendidikan. Maka tidak salah ketika banyak kalangan menyebut bahwa tipe pendidikan KBQT adalah model Pendidikan Kritis, dan –ada yang menyebut- Pendidikan Radikal. Saya tidak menolak pendapat itu, tapi saya lebih cenderung menyebut model pendidikan di KBQT sebagai model Pendidikan Alternatif, alternatif untuk semua.

Salatiga, 2 Mei 2019

Sujono Samba