Oleh: Ahmad Muhammad Nizar Alfian Hasan (Pendamping Belajar)


Menziarahi perjalanan terhubung sampai kemudian terlibat berkala dalam beberapa kegiatan KBQT sekarang, bukan proses yang mudah bagi saya pribadi. Di samping karena bentuk keterlibatan yang sebetulnya tentatif, pada akhirnya tidak banyak pula rekaman yang membekas, sehingga terlalu dangkal endapannya. Ziarah ini berawal dari mengenal Qaryah Thayyibah sebagai ‘oase’ di tengah keringnya harapan atas situasi pendidikan nasional di sekitaran tahun 2005. Entah seperti apa konteks sebenarnya pada saat itu, namun sedikit banyak saya jumpai dalam artikel dan berita di media masa, memuat ungkapan keprihatinan dan keputus-asaan atas situasi pendidikan nasional pada saat itu.


Sebuah ‘frame’ sempat saya dapat ketika sedang magang kerja di Bandung. Tergelar sebuah acara berskala nasional dengan topik “Pendidikan Untuk Semua” dan ada nama Gus Dur terpampang di baliho publikasi acaranya. Saya yang hanya punya minat, namun berbekal sedikit sekali wawasan tentang praktik pendidikan –kecuali yang saya alami sejak SD hingga kuliah di perguruan tinggi negeri- mulai berpikir bagaimana caranya bisa mendalami lebih jauh wacana kritis dan praktik pendidikan yang kontekstual dan lebih adil di negeri ini. Tentu saja ‘frame’ Pendidikan Untuk Semua ini menjadi awal tolok ukur saya mengamati dan mencari praktik pendidikan yang ada saat itu.



Mas Alfian dalam suatu acara di KBQT

PARADIGMA KRITIS SEKOLAH ALTERNATIF


Singkat cerita, setelah melampaui segenap pencarian dari mulai pesantren-pesantren progresif, sanggar-sanggar anak, hingga sekolah-sekolah eksperimental, terhubunglah saya dengan Qaryah Thayyibah, yang saat itu –di tahun ketiga mereka berjalan- masih menyebut dirinya sebagai SMP Alternatif. Kunjungan pertama ke Salatiga, tepatnya ke Desa Kalibening yang berjarak kira-kira setengah jam perjalanan kaki dari simpang ABC, menjadi ketakjuban pertama terhadap keberadaan sekolah ini. Saya yang kala itu masih berstatus mahasiswa semester akhir, sempat terhenyak dan menjadi bulan-bulanan pertanyaan dari anak-anak seusia SMP yang seolah tak punya rasa takut, cemas atau gagap bertemu orang yang baru dikenal. Saya perhatikan juga bagaimana mereka begitu percaya diri mengekspresikan kemandirian dan kebebasan mereka dalam belajar, melampaui batasan definisi sekolah yang pernah saya pahami.


Pembelajaran yang paling membekas di kesempatan awal berkunjung ke QT tentu saja kegiatan belajar, baik di kelas ataupun luar  kelas, yang bagi saya cukup lengkap menggambarkan bagaimana sekolah ini bersikap atau setidaknya menjelaskan siapa dirinya. Di kelas, anak-anak QT bergantian menjadi narasumber, saling menjelaskan materi yang mereka kuasai. Pendamping hanya duduk membaur di tengah-tengah mereka, sekadar menemani atau justru turut pula mengambil peran sebagai pembelajar dalam kelas yang super-dinamis. Ya, super dinamis, karena seperti saya yang sudah 18 tahun mengenyam pendidikan formal, seketika itu sulit membayangkan proses belajar dalam riuh suasana yang ‘kacau’ dan ‘berisik’ seperti itu.


Kacau dan berisik yang saya maksud semisal susunan tempat duduk yang berantakan, berbaris tidak, melingkar juga tidak. Bahkan tidak semua siswa dalam satu kelas duduk di kursi, duduk di kursi pun ada yang dengan satu kaki diangkat, atau bersila. Yang tidak duduk di kursi memilih untuk nangkring di kusen jendela, tidur tengkurap di lantai, atau berdiri sambil sesekali men-drible bola basket keliling kelas. Tapi anehnya mereka tetap bisa melakoninya dengan fokus, terbaca dari letupan pertanyaan atau bahkan sangkalan yang di pengamatan saya terlihat interaktif.


MENOLAK UN dan PENDEWASAAN DINI


Tibalah saatnya di tahun ketiga, tahun 2006, siswa-siswi SMP Alternatif QT menghadapi keniscayaan Ujian Nasional. Saya sebut situasi itu sebagai pelajaran yang mendewasakan mereka lebih dini. Mereka yang masih berusia rata-rata 15 tahun --yang artinya secara psikis dianggap belum matang untuk mengambil keputusan dan antisipasi-- terkondisikan untuk memahami situasi yang bagi kebanyakan orangtua dipandang penting dan sangat menentukan masa depan seorang anak. Saya yang saat itu sedang menjalani lapangan di QT, terhenyak ketika mendapat kabar bahwa anak-anak menolak ikut UN dan lebih memilih melanjutkan kegiatan penelitian dan membuat karya tulis yang mereka sebut Disertasi. 


Meskipun awalnya sempat menaruh kecurigaan bahwa sikap itu ada dalam kendali Pak Din atau pendamping yang lain, namun semua itu akhirnya terbantah dari obrolan-obrolan di antara mereka. Semua itu berpuncak pada satu peristiwa penting yang menurut saya keren sekaligus mengharukan, yakni terjadinya konflik ketika ada segelintir anak memutuskan tetap ikut UN. Saat mendengar keputusan itu tentu saja turut mengaduk-aduk sisi emosional saya. Terlebih pada suatu malam saya mendapat kesempatan mendengar sendiri bagaimana keduabelas anak angkatan pertama bersama Pak Ahmad berkumpul membahas serius soal itu, bahkan sampai terjadi baku tangis dan pelukan satu sama lain. Buah manis dari semua itu adalah ketika beberapa waktu kemudian saya baca sendiri di surat kabar, tulisan Iza, Fina dan Kana berjudul "Lebih Asyik tanpa UN" dan sebuah artikel di halaman pertama sebuah surat kabar nasional tentang kegiatan penelitian individual (disertasi) dari anak-anak QT yang sangat kontekstual dan mereka pandang lebih penting daripada sekadar menjawab soal-soal UN.


DINAMIKA dan KONSISTENSI


Sempat dalam beberapa tahun berikutnya intensitas keterlibatan saya berkurang banyak, kira-kira di antara tahun 2007 hingga 2015. Perkembangan QT hanya bisa saya kutip dari obrolan dengan Pak Din, Pak Jono, Pak Ridwan dan beberapa teman alumni. Singkat cerita, pada periode ini bermunculan konsep dan wacana kegiatan baru, yang sebagian besar masih berlangsung hingga sekarang. Sebut saja misalnya: Bank Ide, Tawashi, Tugas Akhir, Lumbung Sumberdaya (Resource Center), Live-in, Universitas Kehidupan, dll. Kreatifitas anak-anak kian tak terbendung, bakat-bakat identik tiap anak semacam menemukan muaranya, tidak hanya tulisan, tapi juga grafis, kriya, musik, dan juga film. Beberapa kanal kegiatan lantas bermunculan pula, semacam Majalah E-Lalang, Teater Gedeg, Gelar Karya, dsb. Pengistilahan Komunitas Belajar --dari sebelumnya SMP Alternatif-- pada fase ini akhirnya menjadi identitas final hingga sekarang.


Pun pada periode ini, puluhan karya terbukukan berkat kegigihan Pak Din mendokumentasikan, memilah dan menyusunnya hingga menjadi buku. Buku-buku itu pada awalnya dicetak, diperbanyak bahkan dijilid sendiri oleh beliau dalam format ala-kadarnya, sebelum kemudian beberapa penerbit memproduksi dan memasarkannya dalam kemasan yang lebih layak. Sosok Pak Din sebagai pegiat pendidikan juga semakin mendapat tempat di media, sejalan dengan banyaknya penghargaan yang beliau terima dari berbagai macam lembaga. Banyak liputan-liputan menampilkan sosok Pak Din dan juga KBQT, yang tak terbantahkan lagi eksistensinya dari produktifitas karya dan prestasi yang dicapai. Saya pikir, tampilnya Pak Din dan KBQT dalam acara Kick Andy menjadi tonggak penting. Indikator sederhananya, pasca Kick Andy Pak Din tak perlu repot menyiapkan materi, hanya tinggal memutar videonya untuk sekadar menjelaskan kepada tamu, mengisi seminar, diskusi atau bentuk kampanye yang lain.


Sementara di balik itu, dalam keterbatasan pengamatan saya sempat melihat fluktuasi yang kentara, baik dalam hal semangat, produktifitas, ataupun intensitas pendampingan yang berjalan pada fase ini. Jika dijabarkan tentu banyak sekali faktornya, termasuk semakin banyaknya prosentase siswa (peserta belajar) yang berasal dari luar Kalibening. Pelibatan alumni sebagai pendamping cukup besar pengaruhnya dalam menjaga ruh kegiatan pembelajaran di KBQT. Bersyukur saat ini beberapa alumni sudah mengambil peran penting dalam tata-laksana pembelajaran di KBQT, bersama beberapa pendamping lama dan baru lainnya. Meskipun dalam beberapa hal belum optimal, semacam pendokumentasian karya yang sempat 'kedodoran' dalam beberapa waktu.


FORMULASI KOMUNITAS BELAJAR


Bagaimanapun KBQT saat ini sudah menjadi nama besar, dimana dirinya mampu membangun pengertian sendiri tentang pendidikan alternatif. Jika mau menelisik, telah banyak sosok lain atau komunitas lain yang terinspirasi lalu menyusul turut serta menyelenggarakan praktik pendidikan alternatif ala-KBQT dalam konteksnya masing-masing. Bahwa KBQT menjadi bagian dari praktik pendidikan alternatif, ternyata memiliki kekhasan basis metodologi dan cara pandang daripada yang lain, sehingga menyesuai dengan kebutuhan komunitas-komunitas tadi.


Kekhasan yang saya maksud barangkali mengerucut pada pilihan istilah 'komunitas belajar' itu sendiri. Jika beberapa model pendidikan lain yang menyebut dirinya alternatif masih berkutat pada arti pendidikan sebagai 'belajar di sekolah', maka KBQT telah lebih jauh memaknainya sebagai 'belajar bersama menyelesaikan problem kehidupan dan lingkungan terdekat.' Pemaknaan ini menyederhanakan sekaligus mengembalikan kebutuhan mendasar komunitas/masyarakat untuk berkembang menjadi lebih mandiri dan maju dengan mengelola sumberdaya lokalnya sendiri.


Oleh sebab itulah, sejak 2016 mulai muncul wacana penyusunan profil dan pendokumentasian konten apa pun terkait KBQT secara lebih serius, agar khalayak dapat 'membaca' secara utuh konsep dan praktik yang telah KBQT lakukan. Sepertinya hanya langkah itu yang bisa dilakukan untuk menunjukkan  apa adanya KBQT, sambil tentu saja tetap berproses dan terus membenahi teknis pendampingan dan kegiatan agar semakin mendekat pada proses pembelajaran yang diharapkan. 


Yayasan Pendidikan Qaryah Thayyibah juga telah didirikan untuk lebih menguatkan sisi kelembagaan, meskipun belum banyak berperan juga. Niscaya akan butuh lebih banyak keterbukaan, sinergi dan kerjasama untuk mewujudkan 'nyala' Komunitas Belajar yang sesungguhnya, alih-alih akan menjadi lebih pas menyebut KBQT sebagai Sanggar Belajar atau Sanggar Kreatif. Dan tak bisa dimungkiri KBQT kini sedang banyak berbenah demi menuju pendewasaan diri, tepat di usianya yang ke-16 di tahun 2019 ini, semoga...


Karanganyar, 2 Mei 2019