Praktik Pendidikan Berbasis Desa (Pengalaman Qaryah Thayyibah)

Pada 29 April lalu, redaktur LKIP berkunjung ke Qaryah Thayyibah (QT), sebuah sekolah alternatif di Salatiga. Sekolah ini berlangsung tanpa kelas, tanpa kurikulum, tanpa seragam, dan tak menyediakan ijasah. Para peserta didik di QT, dari SD hingga SMA, belajar mengembangkan potensinya masing-masing, dalam waktu, tempat, dan materi pembelajaran yang longgar dan independen dari kurikulum buatan negara. Berangkat dari realitas material pedesaan adalah spirit dari QT yang awalnya diselenggarakan sebagai kelompok belajar petani, guna mendukung aktivitas-aktivitas SPP (Serikat Paguyuban Petani).

Sejak berdiri pada 2003, kepeloporan dan eksperimen QT dalam bidang pendidikan populer di Indonesia pun diakui oleh publik dan negara.  Ditemani dua orang pegiat pendidikan populer di Salatiga, Erwin Santoso dan Chrysandi Sirait, Windu Jusuf berbincang-bincang dengan Ahmad Bahruddin, pendiri dan “kepala sekolah” QT. Berikut petikannya.

Windu Jusuf (WJ): Bisa diceritakan bagaimana Qaryah Thayyibah (QT) ini berawal?

Ahmad Bahruddin (AB): Kalau secara pribadi, awalnya saya punya kegelisahan. Ketika masih mahasiswa, saya aktif di kelompok tani. Saya dulu kuliah di Fakultas Tarbiyyah, di UIN Salatiga. Masuk tahun 1986. Skripsi saya dibimbing oleh George Aditjondro, diberi asupan  buku-buku Paulo Freire, Ivan Illich.

WJ: Zaman Kedung Ombo?

AB: Ya. Zaman anak-anak Rode juga. Waktu itu di Jogja. Bikin Forum Masyarakat Peduli Kedung Ombo. Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta juga—aktivis Jogja waktu itu bersatu.

WJ: Freire, IlIich—baiklah, ini pengaruh teoretis. Sebelum QT berdiri apakah Mas Bahruddin sendiri pernah menjumpai eksperimen pendidikan populer yang sama di Indonesia?

AB: Nggak, saya nggak pernah. Saya cenderung terilhami praktik-praktik pendidikan populer yang sudah ada di Brazil waktu itu. Eksperimen QT ini awalnya berangkat dari teori, tentang kritik terhadap sekolah, tentang pendidikan yang membebaskan, dan seterusnya.

WJ: Bisa cerita tentang Serikat Paguyuban Petani?

AB: Serikat Paguyuban Petani (SPP) ini lembaga civil society di aras desa. Mayoritas penduduk desa kan petani. Sehingga, klaim kita, organisasi yang merepresentasikan desa adalah organisasi yang berbasis petani. SPP berdiri tahun 1999. Sementara Kelompok Belajar [Qaryah Thayyibah] baru berdiri tahun 2003, sebagai pelengkap indikator desa yang berdaya. Definisi desa yang berdaya itu, sederhananya, seperti yang dipaparkan dalam pemikiran Sukarno itu: masyarakat yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara sosial budaya—prinsip Trisaktilah.

Selama ini pendidikan formal yang ada tidak menjawab kebutuhan-kebutuhan itu. Tidak ada sekolah yang mengajarkan materi tentang desa. Di seluruh desa ada sekolah dasar, tapi tidak ada sekolah dasar yang mengajarkan tentang desa. Nggak ada satu pun SD yang melibatkan masyarakat Desa dalam rancang bangun kurikulum. Ini problem besar ketika kita punya tujuan membangun desa yang berdaulat. Makanya, Komunitas Belajar ini sifatnya melengkapi.

WJ: Sejauh yang saya tahu, biasanya dalam kurikulum ada muatan lokal. Apakah program muatan lokal itu tidak cukup efektif?

AB:  Di sekolah nggak ada kok yang namanya muatan lokal. Muatan lokal itu apa toh? Pengertian muatan lokal kan sekadar mata pelajaran yang diwajibkan oleh masing-masing kabupaten. Di Salatiga, muatan lokal itu artinya pelajaran komputer dan bahasa jawa. Di QT, semuanya lokal. Basisnya pada kehidupan lokal dan terintegrasi dengan kebutuhan setempat. Di Kalibening, anak harus memahami sejarah desa, sumber daya desa. Itu baru muatan lokal, dimulai dari konteks kehidupan sekitar.

WJ: Orientasi pendidikan di QT selama ini basisnya desa. Mata pelajaran berangkat dari kebutuhan masyarakat, yang juga selalu berubah. Bagaimana perubahan-perubahan bisa diantisipasi, jika basisnya sendiri berubah?

AB: Tidak perlu ada antisipasi seperti itu. Ketika sistemnya dibuat longgar, anak-anak ini malah lebih siap mengantisipasi perubahan.

Model yang selama ini berjalan di QT adalah pembalikan dari model pembelajaran konvensional yang selama ini pasif-konsumtif ke aktif-produktif. Misalnya saja, ada anak datang. Saya langsung tanya, “Kamu punya ide apa?” Belajarnya mulai dari apa yang ada di kepala anak.  Inilah yang saya katakan sebagai dasar dari pendidikan kritis, yang akhirnya bisa mengarah ke kritik atas ketidakadilan.

WJ: Bisa didetilkan lebih lanjut poin tersebut?

AB: Sederhana saja. Ketidakadilan awalnya cukup dirumuskan oleh anak sendiri. Anak itu sengaja dibiarkan berpikir dan berimajinasi seluas-luasnya, seliar-liarnya. Kenapa ada tanah yang terbengkalai? Karena tidak ditanami? Nah, biarkan anak yang cari tahu sendiri. Tidak memulai dari satu klaim kebenaran yang dibuat oleh guru.

WJ: Bagaimana selama ini kerjasama dengan  lembaga-lembaga di luar QT berlangsung?

AB: Banyak pihak yang sudah bekerjasama dengan QT, mulai dari lembaga kampus negeri, LSM, sampai kelompok-kelompok interfaith. Tidak jarang, mereka juga berperan sebagai fasilitator. Bukan guru yang seperti guru di sekolah-sekolah formal seperti sipir penjara.  Di sekolah umum kan begitu modelnya; guru seperti sipir, pengetahuan jadi paketan. Ada standar kompetensi yang sudah dipancang. Kami mencoba agar tidak seperti itu.

Sebetulnya ada banyak pendidikan populer lain yang konsepnya beririsan dengan QT, namun sifatnya masih “mengajari”. Masih menganggap, “Oh anak ini nggak bisa bahasa Inggris, dan seterusnya”. Proses di belajar di QT dibimbing oleh paradigma constructivism. Tiap anak pasti punya imajinasi, punya kecakapan sendiri-sendiri. Sekarang tinggal bagaimana caranya mereka didukung. Kalau di QT, prinsip belajarnya, ya, lewat berteman saja. Kita punya resource, dibagi. Bisa bahasa Inggris, ya, dibagi. Selama ini,  di Qaryah Thayyibah sistem itu berjalan dan efektif.

WJ:  Kalau program seperti Indonesia Mengajar itu gimana, Mas? Program ini  membawa mahasiswa ke pelosok, mengajari anak-anak di daerah macam-macam, bawa nilai-nilai dari Jogja yang kadang asing untuk masyarakat Papua.

AB: Dengan segala hormat ke Anis Baswedan, dia itu niatnya bagus, punya ketulusan. Namun kritik saya: harusnya programnya itu diganti jadi Indonesia Belajar, bukan Indonesia Mengajar. Balik lagi ke klaim kebenaran: orang yang baik adalah orang yang bisa belajar bahasa Inggris, dan seterusnya. Ada standar yang dipatok. Padahal mungkin yang diajari itu lemah dalam kecerdasan berbahasa tapi kuat di visual. Kan malah kecakapan visual itu akhirnya tidak terolah karena dipaksa belajar bukan oleh diri si anak sendiri.

WJ: Dengan kata lain, menurut Mas, program Indonesia Mengajar ini sama sekali tidak mengubah sistem, tidak mengubah kurikulum, tidak mengubah apa yang selama ini menjadi problem mendasar, dan banyak hal lain dalam pendidikan.

AB:  Tepat. Tidak ada kesempatan bagi anak untuk berkembang mengolah potensinya. Spiritnya masih “Oh, ini anak saya bikin pintar”. Itu kan sombong banget. Pemahaman ex-contrario-nya: “Oh, anak ini bodoh.” Bisa saja di QT kita pakai sistem yang mengajari seperti itu, tapi ya sesuai kebutuhan saja.

WJ: Dari mana asal peserta didik di QT? Dari Kalibening semua?

AB: Nggak, sekarang sudah banyak dari tempat lain. Meskipun idealnya komunitas belajar seperti ini murid-muridnya seharusnya berasal dari kampung setempat. Tapi orang-orang di kampung sini pun makin lama enggan mengirim anaknya ke QT.

WJ: Kenapa begitu, Mas?

AB: Ya, sekarang, mereka pikir, “Ngapain?” Sekarang sudah ada BOS [Biaya Operasional Sekolah], biaya murah, didukung negara, anak-anaknya rapi, berseragam, pakai sepatu.  Ya, buat saya itu wajar. Nggak bisa disalahkan kalau sikap masyarakat seperti itu. Mereka ini korban konstruksi budaya, konstruksi kebijakan pendidikan nasional. Mungkin orang-orangtua itu tanya, “Kok belajar [di QT] bikin komik sih?” [tertawa]. Tapi saya ya harus bertahan dengan kondisi ini. Apalagi mulai ada apresiasi, termasuk dari negara.

Misalnya, ada penghargaan dari kementrian. Banyak orang-orang dari luar dari direktorat yang dibawa ke sini. Status QT ini kan pendidikan kesetaraan, makanya dibanggakan. Meskipun nggak berani juga mereka meniru langsung seperti ini.

WJ: Dalam sistem pendidikan kita, ada pelajaran-pelajaran yang secara langsung terkait dengan ideologi negara. Semisal, Pancasila/kewarganegaraan, Agama, Bahasa Indonesia. Pendidikan yang basisnya nilai. Adakah substitusinya di QT?

AB: Sebetulnya bisa ditiadakan, atau diintegrasikan secara keseluruhan. Pancasila, yang menghargai keragaman, itu bisa diintegrasikan dengan pelajaran atau praktik belajar keseharian lainnya. Yang penting bentuk pengajarannya bukan sekadar formalitas dan simbolis saja. Yang marak selama ini kan substansi yang terjebak pada formalisme itu. Yang beda dianggap musuh. Itu kan celaka sekali.

Yang paling gawat itu kan paksaan untuk menutup aurat, nggak boleh naik motor ngangkang, anak punk dimasukkan ke kolam dll. Itu kan dagelan yang dasarnya nggak jelas. Itu pendidikan Islam, tapi Islam yang simbolis. Saya bisa saja mengklaim bahwa saya lebih Islam, kalau Islam itu diartikan menghormati HAM, keadilan sosial, relasi kuasa yang adil antara laki-laki dan perempuan. Saya ingat kata-kata Gus Dur, “Saya sedih kalau saudara-saudara kita ditindas Israel di Palestina sana. Tapi saya lebih sedih lagi saudara-saudara kita sendiri, yang seagama, menjadi penindas.” Itu justru lebih menyedihkan.

WJ: Pertanyaan ini mungkin keluar dari topik ya. Kenapa pilih nama Qaryah Thayyibah? Kenapa namanya tidak sekuler sekalian? [tertawa]

AB: Aslinya itu nama serikat tani yang berdiri tahun 1999. Ceritanya, waktu kongres pendirian, banyak usulan nama. Ada satu orang mengusulkan nama Qaryah Thayyibah. Dia Katolik dan Batak, namanya Raymond Toruan—dosanya dobel: Katolik dan Batak pula [tertawa]. Sekarang dia masih duduk di posisi Dewan Pertimbangan Serikat Paguyuban Petani QT. Usulan nama dari Raymond ini diterima karena mayoritas peserta suka dengan nama Islami atau yang berbau Arab.

Coba bandingkan dengan nama Jaringan Islam Liberal. Wah, buat sebagian orang, nama seperti itu kan dianggap kayak setan. Kalau Qaryah Thayyibah kan aman [tertawa].

WJ: Meski belum umum, sekarang sudah ada sejumlah lembaga dan komunitas seperti QT ini. Apa problem yang terjadi secara umum di sekolah-sekolah berbasis komunitas belajar? Bisa Mas identifikasi?

AB: Saya anggap sekolah ini gerakan pemberkuasaan masyarakat. Problem yang paling mendasar adalah struktur kekuasaan, ideologi negara, yang tidak memihak pada pemberdayaan masyarakat. Banyak sekolah-sekolah komunitas ini yang kemudian menyerah, yang akhirnya mengikuti program-program dari pemerintah. Misalnya, ikut ujian nasional untuk dapat ijazah karena ada anggapan umum bahwa tidak punya ijazah seakan-akan jelek. Ada juga yang menyerah karena kepentingan uang saja. Ini tantangan pendidikan kesetaraan. Ada saja yang bikin sekolah seperti itu, nanti menampung orang-orang yang mau cari ijazah lewat ujian paket C, terus mengharuskan bayar sekian rupiah. Untuk kebutuhan para caleg, misalnya.

WJ: Saya punya kekhawatiran begini. Sistem belajar seperti ini mungkin hanya bisa bekerja di desa, dengan masyarakat yang relatif homogen. Bagaimana seandainya ini diterapkan di kota?

AB: Sebetulnya pendidikan yang berbasis paradigma constructivism, yang menempatkan pembelajar sebagai subjek, bisa diterapkan di mana pun. Saya dengar bahkan Montessori School, Berlin, mulai menerapkan living context-based, sistem yang sama. Selama anak dijadikan subjek pendidikan, sistem seperti itu bisa diterima di mana-mana.

WJ: Di mana-mana, pendidikan konvensional, termasuk yang selama ini kita terima, disesuaikan dengan tuntutan dunia kerja. Bagaimana Qaryah Thayyibah merespons itu?

AB: Sayangnya, definisi bekerja yang sering diterima adalah menjadi pekerja, pekerja yang upahnya tinggi. Pekerja yang sukses seringkali diartikan sebagai pekerja yang mendapat majikan yang baik, yang memberikan upah tinggi, asuransi, dan lain-lain. Negara bahkan dianggap majikan yang baik, sehingga orang berbondong-bondong ikut tes PNS. Tapi lagi-lagi, ironisnya, setelah lulus, orang malah kebingugnan cari kerja. Ini kekeliruan luar biasa, menurut saya.

Kalau kerja itu didefinisikan sebagai berproduksi, anak-anak sejak awal seharusnya difasilitasi dengan sistem belajar yang aktif-produktif. Petani itu pekerja yang sesungguhnya: mereka memproduksi pangan. Itu aktivitas produksi. Seandainya petani difasilitasi negara, diberi fasilitas laboratorium tanah, misalnya, hasilnya akan gila-gilaan. Belajar saja dari konteks, mengenali tanah, tahu unsur makro-mikronya….

Dulu saya pernah diundang simposium Penyelarasan Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja. Namun, fokusnya  ternyata hanya menyesuaikan pendidikan dengan pekerjaan yang ada di kota saja. Ini kan persis seperti yang dipikirkan Wardiman Djojonegoro [Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Orde Baru Kabinet Pembangunan VI], yang menjabat setelah Fuad Hassan. Saya selalu bertanya, apa sih yang dibutuhkan oleh sistem semacam itu? Bukan tenaga kerja yang pintar, tapi tenaga kerja yang sehat jasmani, bukan rohani. Syukur agak bodoh sedikit [tertawa]. Kalau pendidikan bertujuan memenuhi kebutuhan itu, mending nggak usah diajarin macam-macam. Suruh aja latihan push up.

WJ: Banyak yang lanjut ke universitas?

AB: Banyak. Di Jogja banyak.

WJ: Apakah ada semacam cultural lag ketika menghadapi sistem pendidikan formal di kampus, misalnya?

AB: Mereka bisa cepat beradaptasi kok.

WJ: Bagaimana selama ini QT membangun kepercayaan masyarakat setempat? Apa strategi promosi ke masyarakat di luar Kali Bening?

AB: Dengan pembuktian  bahwa kalau sistemnya begini, maka anak akan lebih kreatif, produktif, dan seterusnya. Lewat penerbitan yang dibuat oleh anak-anak QT, misalnya.

Hasilnya lumayan. Pejabat setempat merekomendasikan ke gubernur. Rumusan-rumusan yang kita susun di QT kemudian akan menjadi bahan rekomendasi. Gubernur sudah punya gambaran untuk membangun RPP (Rumah Pintar Petani) di desa-desa. RPP itu ya sebetulnya komunitas belajar, yang belajar tentang desa masing-masing. Jokowi sudah tertarik dengan model pembelajaran ini.

Untuk ke depannya, kemunculan Undang-Undang Desa akan besar dampaknya, saya kira. Masing-masing desa akan dapat Rp1,4 miliar. Ini undang-undang yang paling progresif setelah UUPA [Undang-Undang Pokok Agraria]. Kalau pelaksaan UU Desa bisa terintergrasi dengan model pembelajaran macam ini, masyarakat desa akan lebih produktif. Masalah-masalah seperti urbanisasi, kerja kontrak, buruh migran, saya pikir bisa terjawab. Ngapain harus ke Saudi kalau bisa berproduksi di desanya sendiri? Bargaining position petani akan naik. Berbahagialah Jokowi seandainya nanti jadi presiden, kalau UU Desa ini, yang sudah menunggu 7 tahun, disahkan. Saya membayangkan jika nanti satu desa akan jadi satu “jamaah produksi” yang melibatkan keluarga miskin untuk berproduksi. Ekonominya bisa digerakkan melalui koperasi jamaah produksi tadi, bukan koperasi simpan-pinjam. Klaim saya, mungkin ini yang dipikirkan Hatta. Kalau negara bisa mengapresiasi sekelompok masyarakat yang punya inisiatif, yang bisa menyusun business plan yang baik, ya masyarakat juga akan balik mengapresiasi.

Erwin Santoso (ES): Saya juga dulu pernah ikut dalam program serupa. Tetap ada peran, seperti sekolah, kepala sekolah, fasilitator. Proses pembelajaran melibatkan praktisi. Tanpa dibayar, praktisi-praktisi ini diminta membagi ilmunya. Lokasi belajarnya juga disepakati. Bisa di kafe, di warung, dan seterusnya.

WJ: Bedanya dengan Kelas Inspirasi [nama pendidikan populer serupa di Jogja] apa?

ES: Saya belum bisa membandingkannya karena tidak tahu banyak soal Kelas Inspirasi. Tapi kalau bandingannya adalah Indonesia Mengajar, di mana lulusan S1 dikirim mengajar ke pelosok, program kami sifatnya lebih informal. Fokusnya lebih ke praktik langsung. Masyarakat di kota lebih butuh strategi bertahan hidup: marketing, keahlian mengelola media sosial, dan seterusnya.

Kegelisahan saya terhadap keberlangsungan komunitas-komunitas seperti ini adalah soal sponsor. Dalam beberapa kasus, makin lama makin banyak sponsor yang masuk. Sekolah-sekolah ini makin lama juga makin tertutup, mungkin karena secara konseptual masih menganut persaingan.

WJ: Apakah ada intervensi khusus dari sponsor dalam proses belajar?

ES: Nggak sih. Tapi biasanya sponsor diberi waktu untuk promosi produk. Ngiklan.

AB: Kalau saya pribadi sebetulnya nggak ada masalah dengan sponsor. Artinya, ada yang mendukung. Tapi yang saya maksud sponsor di sini pastinya bukan iklan rokok. Kalau sebatas CSR [Corporate Social Responsibility] dan tidak mengkampanyekan produknya, saya pikir tidak apa-apa.
Ongkos belajar di QT itu bertumpu pada dana dari anak-anak. Iuran bulanan mereka yang tentukan sendiri. Tahun-tahun lalu masih Rp15 ribu per bulan. Sekarang sudah naik jadi Rp25 ribu, karena mereka sepakat pasang internet.

WJ: Apa Qaryah Thayyibah menerima sponsor?

AB: Sejauh ini menerima, tapi belum ada yang memberi [tertawa]. Gedung di sebelah luar itu pemberian dari CSR. Ada beberapa politisi dan pengusaha yang sempat menyumbang. Tapi saya tetap jaga prinsip: asalkan bantuan tidak mengikat, nggak apa-apa diterima. Kalau saya minta lagi ke mereka, ya bisa saja. Tapi kannggak baik karena bikin ketergantungan. Mereka pasti juga punya kepentingan.

WJ: Isu gender dan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di sekolah-sekolah umum belum banyak diangkat secara masif, kecuali belakangan ketika muncul kasus pelecehan seksual dan kebijakan untuk mengenakan jilbab atau baju koko. Bagaimana hal-hal semacam ini direspons di QT?

AB: Selama ini saya belum melihat masalah seperti itu di QT. Kami membebaskan siswa untuk datang dengan pakaian apapun. Tidak ada seragam. Anak disiapkan untuk menghadapi perbedaan-perbedaan di masyarakat.  Bahkan di sini tidak ada sistem rangking. Semua ranking 1.
[Bahruddin menunjukkan beberapa slide foto murid-murid QT]

Nah, kalau ada yang mahasiswa dengan rambut dicat begini, mungkin sudah nggak diluluskan di sekolah umum. [tertawa]

Tapi itu betul, masalah seragam ini saya pikir krusial juga di sekolah-sekolah umum.

Chrisyandi S [CS]: Bukannya dengan seragam, kesenjangan kelas sosial itu bisa teratasi? Antara anak menteri dengan anak tukang becak tetap bisa setara, kan?

AB: Mungkin ada betulnya, tapi apa harus lewat seragam? Selama ini kan alasan kesenjangan sosial itu yang dipakai untuk membenarkan penggunaan seragam. Kalau kita kembali ke nilai-nilai kesetaraan, kesederhanaan, harusnya tidak begitu.

Kenyataannya, setelah keluar dari SMA, langsung pelampiasannya gila-gilaan. Nilai-nilai egalitarian justru gagal terinternalisasi, meskipun alasan seragam itu disokong argumen kesetaraan atau kedisiplinan. Disiplin itu definisi siapa sih? Selama ini disiplin di sekolah-sekolah itu diartikan patuh pada nilai-nilai yang sudah dibuat. Tidak ada ruang untuk mengkritik, anak harus patuh, dan seterusnya. Ini menurut saya bukan disiplin. Disiplin itu sejatinya ketaatan atas kesepakatan. Setiap undang-undang itu dasarnya kesepakatan, tapi kenyataannya selalu dibuat sepihak oleh institusi, sementara rakyat selalu jadi objek saja. Dalam proses belajar, sudah sepantasnya anak diajak belajar membuat kesepakatan. Di sini terjadi, misalnya, posisi ketua kelas digilir per minggu, per bulan. Ketika mereka bikin newsletter bulanan, tiap terbit pemred diganti, editor diganti.

CS: Selama ini bagaimana kerjasama QT dengan pemerintah dan lembaga pendidikan formal lainnya terjalin?

AB: Soal kerjasama dengan pemerintah… bantuan mereka sangat minim. Wajar, karena sistemnya terpusat dan dana pendidikan sudah dialokasikan ke sekolah-sekolah formal. Tapi minimal mulai ada perubahan cara berpikir di tingkatan otoritas, walaupun perlahan. Peran riil pemerintah sangat minim. Apalagi konsep QT cenderung informal, non-formal bahkan; kalau pendidikan formal itu sekolah umum, informal itu seperti di QT, dan non-formal itu keluarga.

Di QT, kami sebetulnya mendukung pendidikan yang terintegrasi dengan keluarga. Kelas tidak diadakan pagi-pagi tapi agak siang. Tujuannya supaya mereka tetap bergaul dengan keluarga dan teman. Rumah tetap sekolah yang pertama dan utama. Inti pendidikan yang sebenarnya, ya, ada pada yang informal dan non-formal itu. Sayang, nyaris tidak ada perhatian dari negara, walaupun  di direktorat jenderal tetap ada pencantuman pendidikan informal dan non-formal. Uang 300 sekian triliun itu nyaris 80 persennya hanya untuk pendidikan formal. Sisanya baru untuk yang informal seperti kursus, paket B, paket C, TBM (Taman Belajar Masyarakat).

Beda dengan Chavez, yang di Venezuela itu support ibu-ibu rumah tangga untuk mendidik [tertawa]. Kebijakan di Indonesia selama ini tidak konsekuen dengan aturan pendidikan yang tertera di ditjen.

CS: Apa itu berarti hanya masalah implementasi saja?

AB: Nggak juga. Di content of law-nya juga masih kacau. Tidak ada keberpihakan ke sektor pendidikan informal. Kalau ada, pasti sudah teralokasikan ke inisiatif-inisiatif pendidikan informal. Padahal, kalau di keluarga, pendidikan non-formal, peran ibu itu sebetulnya luar biasa. Ibu itu benar-benar guru sejati. Kasih sayang itu betul-betul penting dalam pendidikan. Thomas Alva Edison bisa begitu karena ibunya yang mendampingi dan mendukung dia. Padahal, si Thomas ini drop out. Edison itu produk pendidikan informal.

WJ: Ada otokritik untuk QT sendiri dari Mas Bahruddin?

AB: Kalau bicara soal otokritik, kita akan bicara juga soal hambatan yang dihadapi QT selama ini. Tapi kami sendiri tidak pernah menganggapnya hambatan. Anggap saja itu tantangan. Masyarakat kita ini kan korban dari sistem pendidikan yang ada. Tantangan yang paling berat itu, ya, kesabaran ketika hidup dalam masyarakat yang seperti ini.

WJ: Soal pemerintah sendiri, selain minimnya bantuan, bagaimana biasanya Mas menghadapi orang-orang Kemendikbud?

AB: Modal saya bagasi pengalaman saja. Saya yakin pengalaman saya tidak terbantahkan. Kalau tujuan pendidikan adalah membuat orang lebih kreatif, produktif, cerdas, dan seterusnya, anak-anak QT ini produktif kok—sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan Dikbud sendiri toh? Saya juga berusaha memahami posisi mereka. Ya sudah, saling memahami sajalah.

WJ: Bagaimana respons QT atas Ujian Akhir Nasional (UAN)? Saya dengar tetap ada beberapa anak yang mendaftar UAN.

AB: Saya rasa itu sudah terjelaskan lewat posisi saya menyangkut ijazah tadi. Tapi begini: buat anak-anak yang ingin ikut ujian, mereka tinggal ikut ujian paket saja. Yang ikut kita dukung, kita temani belajar. Yang nggak ikut, lebih-lebih kita dukung [tertawa].

ES: Kalau selama ini QT hanya jadi pendamping, bagaimana cara mengevaluasi hasil belajar anak-anak?

AB: Kita harus mengubah cara berpikir evaluatif yang ada. Sulit mengevaluasi orang lain jika dalam praktiknya evaluasi itu sifatnya sekadar ngetes. Nggak bijak juga rasanya menghakimi seperti itu, “Ah, skill-mu masih jelek nih, dan seterusnya.” Tapi biasanya setiap Senin kita kumpul, bahas capaian proyek masing-masing, ditulis hasilnya, dirembug bareng apa saja kendalanya. Evaluasi ada di situ dan bisa setiap saat. Sifatnya tetap dalam koridor belajar, bukan ngetes.

ES: Proses pendampingan anak-anak yang ikut UAN seperti apa, Mas?

AB: Tinggal disesuaikan saja. Yang lemah di matematika, tinggal belajar matematika. Yang mendampingi pun harus yang bisa matematika. Urusannya kan cari lulus, cari ijazah. Lagi-lagi ijazah ini tetap masalah krusial untuk dipikirkan karena selama ini ijazah jadi sumber penghargaan masyarakat.
Sumber: IndoProgress