Oleh: Rasih Mustaghis Hilmiy

Melalui tulisan ini, saya coba untuk berbagi dengan cara dan bahasa yang sederhana, melalui hal-hal yang saya alami di sekitar saya. Tak ada hal-hal istimewa di dalamnya. Hanya keseharian yang begitu-begitu saja. Bukankah kalau kita mengutip kuotasi dari Pramoedya Ananta Toer, memang hidup itu sungguh biasa-biasa saja, tafsirnya saja yang luar biasa. Jadi, jangan berharap menemukan hal yang ‘wah’ atau luar biasa dalam tulisan ini. Biar saja mukjizat hanya dimiliki oleh para nabi. Kita? Tak perlu.

Saya hidup dan berkeseharian di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT), Desa Kalibening, Kota Salatiga. Sebuah komunitas pendidikan setara jenjang SMP-SMA yang proses belajarnya dikembalikan kepada anak. Komunitas ini didirikan oleh Pak Din (sapaan akrab Bahruddin-red), seorang aktivis muslim religius-progresif yang banyak dipengaruhi oleh karya Ivan Illich juga Paulo Freire. KBQT yang ketika awal berdiri menamai diri sebagai “sekolah alternatif” ini memang didirikan untuk menjadi alternatif atau pilihan lain dari sekolah-sekolah konvensional yang ada.

Dalam konteks kebhinnekaan, komunitas ini mengedepankan kebebasan berpikir untuk para siswanya dengan cara belajar yang sangat dinamis. Komunitas ini mengakui dan menghargai keragaman berpikir warga belajarnya –sebutan untuk pelajar di komunitas ini. Karena itu pula tak ada penyeragaman dalam bentuk apapun termasuk cara dan media belajar. Seluruh warga belajar berhak menentukan dan mengaplikasikan bagaimana mereka belajar.

Tak ada proses mengajar di tempat ini. Siswa bukanlah obyek belajar melainkan subyek yang belajar. Persis seperti pemaknaan “murid”, frasa muriidan yang berasal dari bahasa Arab mempunyai makna: orang yang memiliki keinginan dan berkehendak. Artinya warga belajar adalah subyek yang memiliki rasa ingin tahu serta kehendak untuk terus belajar. Guru dan pendamping di komunitas ini memegang fungsi sebagai fasilitator serta ‘modin’ –akronim dari motivator dan dinamisator. Tugasnya sebatas pada menjaga atmosfir belajar para warga agar tetap kondusif dan selalu mengarah pada hal-hal yang produktif. Selebihnya, semua dikembalikan kepada warga belajar. Tak ada agenda wajib kecuali untuk hal-hal yang sifatnya kolektif seperti upacara.

Setiap Senin pagi, anak-anak KBQT berkumpul untuk upacara. Diawali dengan berdiri dan melantunkan lagu Indonesia Raya secara bersama, mereka kemudian duduk melingkar dan memulai diskusi. Anak-anak secara serempak membuka buku laporan milik mereka untuk dibagikan kepada teman-teman mereka. Buku laporan tersebut berisi catatan kegiatan mereka seminggu sebelum upacara dan rencana kegiatan seminggu setelah upacara. Di sinilah esensi dari rutinitas tersebut. Konsepnya sederhana: semua mengevaluasi semua, semua mendukung semua. Ketika dinamika memberi dan menerima kritik, atau bahkan sekadar testimoni dari kawan sejawat dan pendampingya, mereka mulai membuka pikirannya.

Lalu apa hubungannya dengan mBhinneka?

Sebelumnya, mari kita sedikit mengintip kamar dimana “Bhinneka Tunggal Ika”  dilahirkan. Bhinneka Tunggal Ika justru lahir dari spektrum Teologis. Pada abad ke-14 terjadi sinkretisme agama di negeri Majapahit. Seorang empu beragama Buddha yang kita kenal dengan Empu Tantular mengarang sebuah syair/kakawinan bertajuk Sutasoma.

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Yang berarti:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Mpu Tantular menutup kakawin/syair Sutasoma karangannya dengan “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.” Melalui syair yang lahir di abad ke-14 ini, Empu Tantular ingin menggambarkan betapa perbedaan adalah sesuatu yang niscaya, perbedaan tak bisa dihindari atau dinafikan. Di atas segala perbedaan ada kebenaran mutlak di sana, kebenaran yang oleh manusia (seharusnya) diugemi bersama. Kebenaran itu bernama persatuan yang dibangun dengan sikap saling peryaca, menjaga, dan menghargai.

Kembali ke KBQT, pikiran ibarat buku yang tak ada gunanya jika tak dibuka. Pikiran yang terbuka adalah kunci bagi setiap orang untuk menerima dan saling menghargai hingga akhirnya mewujud toleransi. Kiat-kiat untuk selalu membuka pikiran sudah seharusnya ditanamkan pada anak muda yang sedang haus-hausnya untuk belajar.

KBQT melaksanakan pendidikan dengan metode partisiparotis. Partisipatoris artinya menekankan keterlibatan dalam proses belajar, pembiasaan laku tanpa ada bentuk represi secara fisik maupun mental. Dan sekali lagi yang paling penting adalah setiap warga belajarnya berhak untuk bebas berpikir dan menentukan arah ke mana mereka akan melangkah. Selama itu tidak menyinggung dan merampas hak orang lain, tak ada masalah.

Indikator sukses atau tidaknya proses belajar tidaklah dengan sistem penilaian yang menggunakan skala 0-10. Selain metode belajar yang partisipatoris, di KBQT juga ada ruang apresiasi bernama Gelar Karya yang digelar setiap bulan. Gelar Karya merupakan panggung sederhana guna menunjukkan hasil dari proses belajar warga belajar selama sebulan terakhir. Semua bergembira dan saling mengapresiasi. Karya-karya yang ditampikan pun sangat beragam, dari karya tulis, lagu, teater, hingga proyek ilmiah juga ada.

Kurang lebih singkatnya seperti itulah sublimasi kebhinnekaan yang ada di lingkungan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah tempat saya tumbuh dan belajar. Seperti dalam mahakarya Sutasoma syair warisan Empu Tantular, bahwa kebhinnekaan itu keniscayaan. Tentang bagaimana kita menyikapinya, itu pilihan. Jadi, mari kita memilih untuk menyikapinya dengan gembira, saling menghangatkan dan menghidupi.

Salam,

Rasih Mustaghis Hilmiy
(Instagram : @r_hilmi)

*Penulis adalah warga belajar di KBQT, artikel ini dimuat di; Asian Youth Day