Geger eksploitasi anak yang dituduhkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kepada PB Djarum mengusik para pendamping Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) untuk turut bersuara. Setidaknya sebagai pegiat pendidikan merdeka mereka punya hak suara untuk berpendapat tentang hal ini.

Maka pada Senin, 9 September, mereka sepakat menggelar obrolan pendidikan perdana terkait eksploitasi anak. Bertempat di ruang tamu Pak Din, pendiri KBQT, mereka menyoal apa dan bagaimana batasan-batasan eksploitasi itu? Terutama jika dikaitkan dengan anak-anak. Hal ini menarik dibahas sebab jangan-jangan selama ini para orang tua, guru, bahkan lembaga pendidikan juga mengeksploitasi anak.


Polemik antara KPAI dan PB Djarum tidak menjadi pusat obrolan malam itu. Sebab di belakangnya tentu banyak kepentingan para stakeholder. Forum sepakat untuk tidak memihak salah satu kubu supaya bisa tetap objektif membahas terma eksploitasi anak. Artinya, tuduhan KPAI atas eksploitasi anak yang dilakukan PB Djarum bisa tepat, bisa juga keliru.

"KPAI melakukan riset," ujar Pak Jono, "Yang tentu bukan riset main-main, bahwa adanya audisi atlet dengan membawa brand Djarum ternyata meningkatkan munculnya perokok-perokok pemula."

Tudingan yang dituduhkan KPAI memang dominannya brand Djarum -sebagai perusahaan rokok- dalam semua kegiatan audisi atlet muda. Padahal undang-undang jelas membatasi iklan rokok, terutama kepada anak-anak.

"Inilah yang menjadi poin eksploitasi itu," sela Zia selaku moderator, "Bahwa PB Djarum telah memanfaatkan anak-anak sebagai komoditas iklan produk rokok mereka melalui tampilan brand-nya di berbagai gelaran audisi. Tapi bukankah Djarum saat ini bukan sebatas brand rokok?"

"Ya," sahut Hilmi, "Bahkan yang ditampilkan di bagian depan kaos atlit bukan logo Djarum, melainkan logo Blibli, platform lapak online punya Djarum."

Obrolan melebar, membincang Djarum sebagai salah satu konglomerasi tembakau di Indonesia. Tentang bagaimana politik pertembakauan dunia, sejarah rokok sebagai obat, hingga persaingan bisnis dunia farmasi yang hendak memusnahkan budaya kretek. Juga menyoal tentang seberapa efektifkah perusahaan rokok di Indonesia dalam meningkatkan kemakmuran para petani tembakau di daerah-daerah.

"Pembinaan atlet bulutangkis yang dilakukan Djarum merupakan bagian dari Company Social Responsibility (CSR) mereka," lanjut Hilmi, "Semacam tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat. Nah, kalau audisi kemudian dihapus, kira-kira nanti dana CSR Djarum yang begitu guedhe mau dipakai buat apa?"

"Yak, gedhe banget lho itu," sambut Hanif, "Kekayaan Djarum saja sampai empat ratus lima puluhan triliun! Lha wong proyek pemetaan Gunung Muria saja mereka sampai sediakan dana sepuluh miliar, kok."

"Kalau saya tidak setuju konsep CSR," sela Pak Din, "Konsep CSR disalahkaprahi sebagai wujud kepedulian perusahaan kepada masyarakat. Padahal itu 'kan kewajiban yang memang harus dilakukan. Misalnya perusahaan yang memproduksi polusi dari cerobongnya, kemudian melakukan kegiatan penanaman seribu pohon, seakan-akan perusahaan langsung jadi soleh, padahal itu 'kan kewajiban mereka."

"Lalu kemana dana itu musti dialokasikan kalau tak ada CSR?" tanya moderator.

"Ya dialihkan ke pajak," jawab Pak Din.

"Lha 'kan sudah ada?"

"Ya dinaikkan, dong."

"Jadi dengan adanya CSR ini bisa jadi semacam 'uang tutup mulut' buat masyarakat atas eksploitasi yang dilakukan perusahaan. Begitu ya, Pak?"

"Bisa jadi."

Lalu bagaimana dengan eksploitasi anak yang menjadi inti obrolan malam itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 'eksploitasi' yang berkaitan dengan manusia sebagai objeknya berarti pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan. Adapun forum obrolan menyimpulkan bahwa eksploitasi merupakan aksi pemanfaatan suatu pihak oleh pihak lain dan cenderung merugikan pihak yang dimanfaatkan, atau bersifat parasitisme.

Misal seorang penulis menerbitkan buku tentang pengajian Gus Baha yang sedang fenomenal, namun tanpa kompensasi apapun kepada Gus Baha, bahkan tanpa ijin kepadanya. Tentu ini bentuk eksploitasi individu yang sangat gamblang.

Contoh lain adalah perusahaan yang mempekerjakan buruh tanpa upah yang layak. Kelayakan upah tentu harus mengukur kebutuhan riil si buruh beserta anggota keluarga yang ditanggungnya. Seorang buruh dengan satu istri dan dua anak tentu tidak layak diupah dengan ukuran bujang. Belum lagi beban kerja yanh berlebihan. Kalau demikian adanya berarti eksploitasi terjadi.

"Termasuk dalam eksploitasi," kata Alfian, "Adalah yang dialami para guru honorer alias wiyata bhakti. Mereka dihonor dengan angka yang sangat rendah dan pekerjaan serupa guru profesional. Tentu saja ini bentuk eksploitasi manusia yang bisa disebut kejam."

"Lalu bagaimana kaitannya dengan anak?" lempar moderator.

"Ya seperti praktek pemaksaan anak-anak oleh sekolah untuk ikut lomba, demi keharuman nama sekolahnya," sahut Alfian.

"Anak-anak diajak demo politik juga eksploitasi ya?" sela Zia.

"Ya jelas kalau itu," sambar Hanif.

"Fashion show anak juga begitu. Anak-anak disuruh-suruh berlenggak-lenggok demi kebanggan orang tuanya," tambah Hilmi.

"Apalagi jika ada unsur suap menyuap demi perolehan juara," tukas Pak Jono, "Dan itu sudah sangat lazim di dunia kompetisi."

"Termasuk lomba-lomba yang memaksa anak-anak berlatih berjam-jam tiap hari sampai kelelahan, demi keuntungan lembaga," kata Pak Din.

"Tapi kalau anak-anak enjoy bagaimana?" tanya Zia.

"Ya makanya harus ada timbal balik untuk si anak. Ada keterlibatan aktif si anakl dalam memilih. Kalau ada timbal balik keuntungan yang didapat anak, berarti itu eksplorasi dan apresiasi, bukan eksploitasi," Pak Din menimpali.

"Nah itu," kata Hilmi, "Yang menjadi batasan eksploitasi adalah adanya pengharusan bagi anak-anak, tanpa ada pilihan merdeka bagi mereka, tanpa ada timbal balik manfaat bagi mereka."

Forum menyimpulkan bahwa eksploitasi terhadap anak adalah aksi pemanfaatan anak tanpa ada pilihan bagi mereka, bahkan cenderung memaksa dan menekan, demi keuntungan dominan bagi pihak yang memanfaatkan. Batasan ini perlu dipahami agar setiap pegiat pendidikan tidak terjebak dalam perilaku eksploitatif terhadap anak, demi dirinya atau lembaganya.

Bisa jadi, eksploitasi terhadap anak justru selama ini terjadi di rumah-rumah kita. Ketika orang tua menuntut anak untuk mencapai ekspektasi ayah dan ibunya, tanpa proses dialog intim, demi kebanggaan si orang tua. Atau mungkin juga terjadi di lembaga pendidikan, ketika pengelola lembaga memaksa anak untuk mengikuti program rancangan mereka, semisal kompetisi, tanpa ada pilihan merdeka bagi anak, demi prestis dan citra lembaga.

Maka kata kunci yang perlu diperhatikan pegiat pendidikan untuk menghindari eksploitasi adalah; kemerdekaan dan kebermanfaatan bagi anak. Kebijakan mengorbit pada kepentingan anak, bukan pada kepentingan si pegiat atau lembaganya. Hubungan yang terjadi adalah mutualisme, jangan sampai lembaga justru menjadi parasit bagi anak. []

___
Catatan ini merupakan reportase obrolan pendidikan #GoblokSemangat perdana, para pegiat Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, dengan tema 'Menyoal Eksploitasi Anak', di kediaman Pak Ahmad Bahruddin Kalibening, Senin 9 September 2019, pukul 21.00-23.00 WIB. Reportase ini ditulis oleh Zia Ul Haq