Oleh: Ahmad M. Nizar Alfian Hasan*

"Yang butuh kita perbanyak ya ruang-ruang seperti ini, tempat-tempat bermain yang bisa dipakai sebebas-bebasnya oleh anak, baik di desa-desa atau bahkan di kota-kota." (Bahruddin - KBQT Salatiga)


Hari ini kegembiraan anak-anak bergaung di langit Bumi Kartini. Setidaknya itu terwakili oleh dua gelaran acara yang menyuarakan kampanye pendidikan alternatif di kota kelahiran pahlawan emansipasi kita, Bunda Kartini. Menjadi sebuah kebanggaan ketika Qaryah Thayyibah mendapatkan kesempatan mengisi kedua acara tersebut.  Pertama, sebuah acara Bedah Buku 'Sekolah Apa Ini?' yang disusun oleh kawan-kawan Sanggar Anak Alam (SALAM) Jogja di Pendapa Agung Kabupaten, menghadirkan Pak Bahrudin sebagai pembedah bukunya. Kemudian disusul dengan serangkaian acara meriah nan bermakna, nun di pelosok sejauh 8 km dari acara pertama, yakni Perayaan Sewindu Rumah Belajar Ilalang bersamaan dengan Olimpiade Dolanan Anak yang menghadirkan anak-anak QT sebagai pengisi salah satu sesi acara bertajuk Panggung Qaryah Thayyibah di malam harinya.

Sedikit mengulas acara yang disebut pertama, pada awalnya dimaksudkan untuk mendedah praktik SALAM dari isi buku tersebut. Tak ketinggalan Ibu Wahya sebagai pendiri dan para pegiat sekolah alternatif itu hadir langsung, bertatap muka dengan para orangtua dan pemerhati pendidikan anak dari penjuru Kota Jepara, Kudus, Demak dan sekitarnya. Di balik antusiasnya para peserta, acara itu justru menjadi pengukuh keniscayaan jejaring pendidikan alternatif, yang mempertemukan setidaknya Sekolah Semai (Jepara) sendiri sebagai penyelenggara, SALAM (Jogja), Qaryah Thayyibah (Salatiga) dan juga Omah Dongeng Marwah (Kudus) yang turut memeriahkan acara dengan menampilkan talenta anak-anak didiknya.


Sederet nama-nama itu seolah menguatkan keyakinan bahwa alternatif pendidikan untuk anak-anak bakal menemukan momentumnya, terlepas dari keunikan masing-masing dalam memaknai dan menerapkan formulanya. Seperti yang sempat dikatakan oleh Pak Bahrudin bahwa tak lama lagi sanggar-sanggar belajar bakal membuktikan dirinya sanggup menjadi solusi efektif di tengah kemandulan sekolah formal yang belakangan terancam fungsi akademiknya, sejak kehadiran solusi pragmatis semacam les, kursus, atau fasilitasi belajar daring semacam 'Ruang Guru.'

Selesai acara di Pendapa, kami sempat berbincang sambil menjalani santap siang di sebuah warung sederhana di pinggir salah satu pantai di Jepara. Laila Jauharoh, salah seorang pendamping di Sekolah Semai mengungkap temuan keterbatasan penyelenggaraan sekolah formal di kepulauan Karimun. Salah satu desa di sana terdapat dua sekolah dasar yang hanya di kelola oleh seorang guru. Anak-anak di setiap jenjang dari dua sekolah itu harus sabar menanti datangnya giliran mendapatkan pelajaran. Tentu saja temuan itu ditanggapi dengan semangat oleh Pak Bahrudin, bahwa jelas-jelas solusi pendidikan formal sudah semakin tak memadai guna menjawab tantangan jaman ke depan.


Benturan realita seperti itu membuat solusi pendidikan formal jadi tak masuk akal. PKMB menurut beliau justru akan menjadi solusi yang lentur dan efektif menyikapi beragam kondisi, termasuk paling ekstrim sekalipun. PKBM sebagai induk kelembagaan pengelola, bakal lebih mengena dan lebar jangkauannya. Termasuk ketika sempat terlontar pula perihal keberadaan para Pekerja Migran Indonesia (PMI, sebutan terkini TKI) yang sebagian besar hanya lulusan SD, beberapa tertinggi hanya SMA. Dalam hal ini PKBM ternyata juga dapat menjadi solusi pragmatis yang bertujuan meningkatkan nilai tawar para buruh lewat keahlian yang terakui negara.

Kesaksian yang sedikit berbeda kami temukan saat tiba di Kecapi, yakni tempat digelarnya hajatan Olimpiade Dolanan Anak yang bertepatan dengan perayaan Sewindu Rumah Belajar Ilalang (RBI) Jepara. Ruang-ruang organis nan teduh, spot-spot dolanan, dan ragam pajangan hasil karya anak-anak yang tertata apik menyambut kedatangan kami. Beberapa kelompok anak kami jumpai sedang bermain dan bercengkerama  dengan pertautan kegembiraan satu sama lain. Sampai-sampai Pak Bahrudin mengatakan bahwa buku-buku menjadi tidak lebih penting daripada kegembiraan anak-anak itu saat bebas bermain bersama teman-teman sejawat di lingkungannya.

Kegiatan diskusi, workshop dan pertunjukan yang dijadwalkan kiranya sekadar menjadi penanda dari proses yang terjadi sesungguhnya. Anak-anak bergairah, ekonomi warga berdenyut, orang-orang dewasa tergugah dan keingintahuan para pemerhati terjawab sudah. Serangkaian kegiatan 3-4 hari di RBI, tampaknya betul-betul mejadi kanal pemikiran yang merefleksikan kegelisahan banyak orang tentang ketidakberdayaan pendidikan nasional sejauh ini. Mengupayakan solusi terkait pendidikan anak, terbukti tak serumit dialektika yang terjadi, ketika ada kemauan dan keterbukaan dalam memulaii dan menjalani prosesnya.


Menyinggung kembali pernyataan Pak Bahrudin di awal tulisan ini, bahwa wujud perhatian terhadap pendidikan anak menemukan kesesuaiannya lewat kegiatan semacam yang dilakukan RBI. Sebagai sanggar yang menjadi ruang belajar sekaligus berekspresi anak dalam satu komunitas, tidak lantas menjadikan RBI membatasi dirinya bekerjasama dengan pihak lain. Justru sinergi dibuka lebar kepada institusi formal ataupun non-formal. Masyarakat dan pegiat dari luar dilibatkan, begitu pula instansi dan sekolah formal digandeng, demi mencapai tujuan terkait pendidikan anak.

Den Hasan, penggagas acara sekaligus mewakili pengelola mengungkap bagaimana keterbatasan tak mampu membendung niat baik yang selalu diupayakan. Setidaknya, hal-hal semacam yang dilakukan oleh RBI dan juga sanggar-sanggar komunitas lainnya, sekecil apapun akan menjawab kegelisahan Pak Toto Raharjo (pendiri SALAM) yang termuat di dalam buku Sekolah Apa Ini? Bahwa "Jika anda bukan bagian dari penyelesaian, anda merupakan bagian dari persoalan."

Karanganyar, 14 September 2019

___
*pendamping di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah - Salatiga dan Sanggar Pamongan - Karanganyar