Oleh: Ahmad M. Nizar Alfian Hasan*

"Indikasinya, sekolah-sekolah bakal dibubarkan karena sudah semakin tidak masuk akal dan kian kehilangan relevansinya." (Bahruddin)


Kalimat itu seolah berisi kabar membahagiakan bagi pelaku pendidikan alternatif, seperti halnya kami di KBQT. Tapi sebetulnya beliau sedang menegaskan hal lain yang jauh lebih penting daripada sekadar pernyataan kritis semacam itu. Bahwa sebelum indikasi itu benar-benar terjadi, kita harus segera siapkan upaya agar komunitas-komunitas yang ada --apa pun bentuknya--, tidak hanya berhenti pada perayaan dan romantisme kelompok saja. Tapi jauh lebih strategis lagi, bagaimana komunitas itu mampu menjawab ketidaklogisan dan nir-relevansi sekolah, seperti yang sedang kita soroti di depan. Bentuk paling sesuai ya tentu saja sanggar kreatif atau komunitas belajar yang juga terdaftar sebagai PKBM. Sehingga secara ruh tetap non-formal tetapi diakui negara.

Pak Din seolah juga sudah memprediksi perihal kemampuan sekolah-sekolah formal dalam merombak dirinya. Sekolah paling banter hanya dapat melakukan pembenahan-pembenahan penampilan, semacam memperkecil jumlah siswa dalam satu kelas, mengasup kegiatan-kegiatan tambahan atau mempersiapkan bekal-bekal ketrampilan untuk memenuhi tuntutan pasar industri. Setidaknya masih jauh membayangkan sekolah mampu mencapai tahap pembelajaran mandiri (meta-cognitive) apalagi pembelajaran saling kerjasama (collaborative learning). Alih-alih yang terjadi masih berkutat pada situasi anak sekadar menerima pelajaran dan terpicu persaingan.

Beberapa pemahaman itu kemudian mengantarkan kami pada sesi refleksi perjalanan KBQT sejak  enam belas tahun lalu. KBQT berdiri pada situasi kepercayaan khalayak terhadap sekolah masih cukup tinggi. Data BPS tentang partisipasi usia sekolah menengah nasional menyebut angka 81.09% yang meskipun sempat turun di tahun 2010 menjadi 80.35%. Sedangkan di Jawa Tengah, untuk tahun kemarin indikator tersebut berada di angka 73%. Entah harus gembira atau sedih, untuk 23% sisanya ternyata bukan karena "tidak bisa sekolah", tapi sudah bergeser alasannya menjadi "tidak mau sekolah." Inilah peluang sekaligus tantangan bagi desa-desa yang telah siap menyelenggarakan PKBM.

KILAS BALIK PERJALANAN

Kiranya menjadi tepat jika kemudian di usianya yang ke-enambelas tahun ini, KBQT telah dan akan menjalankan serangkaian proses pembenahan. Jika beberapa bulan sebelumnya, upaya mengidentifikasi kebutuhan untuk hal itu dilakukan lewat penyusunan Buku Profil KBQT yang lebih serius dan komprehensif dari sebelumnya. Maka mulai bulan Juli kemarin, telah dilaksanakan beberapakali diskusi terarah di tingkat yayasan yang disusul hari Sabtu, 3 Agustus 2019 kemarin kami gelar Workshop Perencanaan Strategis KBQT yang melibatkan tidak hanya pengurus dan pembina yayasan, akan tetapi juga pendamping belajar. Dari unsur pendamping senior termasuk juga para pendiri dan dari pendamping yunior hampir semua diisi alumni yang sampai sekarang masih ikut terlibat di KBQT.

Fase Konsolidasi dan Inisiasi, jika diperbolehkan saya menyebut demikian untuk fase awal (2003-2007). Rentang empat tahun pertama yang menjadi tonggak keseluruhan proses berikutnya, yakni: bagaimana awal mengumpulkan lalu bermusyawarah dengan orangtua murid pertama, menerapkan model pendampingan yang membebaskan, kemudian menjalankan kurikulum pembelajaran yang seterusnya masih dalam pencarian, menghadapi polemik Ujian Nasional murid angkatan pertama, sampai pada menjawab pertanyaan-pertanyaan konseptual yang itu semua tak mudah dilakukan.

Cara-cara persuasi seperti pembuatan album lagu dan klip Tembang Dolanan serta peliputan media cetak dan tv nasional, banyak membantu kepercayaan diri pada fase awal ini. Solusi pengadaan komputer di rumah untuk masing-masing anak dan akses penuh jaringan internet, menjadi terobosan yang mendahului jaman, menjadi dialektika yang menarik nanti pada bagian akhir tulisan ini. Fakta kecil lain yang menguak, salah satunya anak menjadi betah berlama-lama di sekolah yang artinya kegembiraan belajar bukan slogan semata namun telah menyatakan diri sejak awal.

Fase Akselerasi dan Eksistensi, kiranya cukup memadai untuk menyebut fase empat tahun kedua (2007-2011). Fase ini dibuka dengan kehadiran konsekuensi atas pilihan membebaskan murid mengikuti Ujian Nasiunal (UN) atau tidak. Secara alamiah nampaknya itu menyeleksi alasan murid atau orangtua bergabung menjadi bagian dari KBQT. Fase ini pula yang melahirkan forum-forum, yakni kelompok kegiatan anak berbasis minat, hingga terwujudnya konsep Universitas Kehidupan untuk merespon keberlanjutan nasib murid-murid generasi awal di QT. Satu hal penting yang perlu disorot juga adalah perubahan status dari formal (SMP Terbuka) menjadi non-formal (Kejar Paket C-D) sehingga muncul penyebutan Komunitas Belajar. Fakta ini seakan menjadi bahan bakar utama kemunculan energi kreatif warga belajar berkarya semaksimal mungkin di fase kedua ini. Penulisan ide, capaian dan target, banyak menunjang produktifitas itu.

Fase Sinergi dan Kolaborasi, menjadi sebutan yang lebih ditujukan untuk mengapresiasi positif pencapaian di fase empat tahun ketiga (2011-2015). Di balik fakta telaknya kemunduran peran pendamping di rentang waktu ini, kelahiran kanal-kanal kreatifitas warga belajar justru mendapatkan momentumnya. Forum Teater, Film dan Perkusi menjadi 'kawah' penempaan komitmen dan kesungguhan anak berkarya sekaligus belajar mandiri dalam kolaborasi antar teman yang saling membangun. Kenekatan anak belajar berproduksi bersama lalu jemput bola memasarkan langsung dari pintu ke pintu, belum pernah terulang lagi hingga sekarang. Dampak yang diperoleh di fase ini, KBQT banyak memanen jejaring yang lalu mendapatkan banyak kesempatan eksposisi dan bergiat keluar bersama komunitas-komunitas lain yang tidak hanya regional Salatiga, tetapi juga Jawa Tengah bahkan nasional, sebagai tamu undangan, narasumber atau pengisi acara. Serangkaian proses ini banyak melahirkan talenta dan prestasi yang membuktikan kompetensi warga belajar kepada masyarakat luas. Meskipun tak bisa dimungkiri, di fase ini pula QT sudah mulai kehilangan anak-anak setempat yang mau bergabung menjadi bagian proses pembelajaran.

Fase Aktualisasi dan Kontribusi, untuk menyebut peran lebih luas di fase empat tahun keempat (2015-2019). Fase ini berada pada situasi gadget dan kuota internet yang semakin akrab dipakai dan relatif murah. Meskipun hingga tulisan ini dibuat, hal itu masih menjadi polemik dalam hal menimbang dampak positif-negatifnya. Faktanya, fase ini bisa dibilang warga belajar QT seluruhnya sudah bukan penduduk Desa Kalibening, melainkan anak-anak dari luar daerah. Mereka pun datang dengan keberagaman latar belakang, termasuk beberapa di antaranya bermasalah dengan sekolah formal dan bahkan terduga memiliki keistimewaan lain atau berkebutuhan khusus. Jejaring alumni diberdayakan untuk mendukung pendampingan, baik itu reguler ataupun tentatif. Program semester, pendampingan karya Tugas Akhir hingga penyelenggaraan Pameran Karya di ruang-ruang publik Kota Salatiga, menjadi bentuk lain kontekstualisasi fase ini. Terlebih dalam kegiatan kolaboratif lintas komunitas dan daerah yang sudah terbangun sebelumnya, KBQT tidak hanya menjadi peserta namun sudah beranjak lebih strategis perannya terlibat sebagai penyelenggara.
 
APAKAH BETUL-BETUL NIR-KONSEP?

Satu-satunya indikator yang selalu muncul di tiap fase adalah pertanyaan soal konsepsi. Dinamika berikut turunan problematika di KBQT seolah menegaskan perihal itu. Pondasi inti yang menopang keseluruhan aktualisasi program pembelajaran selalu mencuat dalam bahasan, baik itu di ranah pendamping atau yayasan. Wacana semacam kembali pada belajar sebagai esensi pendidikan, bukan kesetaraan (baca: ijazah), sepertinya belum cukup memberi penjelasan. Banyak pihak masih mengganggap murninya kemauan warga belajar meningkatkan kreatifitas sebagai suatu utopia. Meskipun benang merah faktanya mengungkap soal telah terselenggaranya pendampingan berbasis karya, mulai dari gagasan, proses kreatif hingga penyajian.

Kebiasaan nalar positif nampaknya terlalu akrab dengan alur konsepsi yang kemudian  berdampak pada pembingkaian praktik yang terjadi di lapangan. Sedangkan yang terjadi di QT justru sebaliknya, serangkaian praktik masih perlu dijahit dan disulam hingga menjadi sebuah konsepsi. Sehingga ketika tersaji sebuah rumusan yang mudah dipahami, harapannya bakal lebih membuka kemungkinan untuk disebarluaskan. Untuk itu kita berharap, semoga di tahun ini bisa segera tersusun jawabannya.

TEROBOSAN KEMUNGKINAN DAN RELEVANSI

Pelaksanaan Workshop Perencanaan Strategis ini niscaya menyandang peran lebih dari sekadar administratif. Pak Roy, selaku tuan rumah sekaligus salah satu pelaku sejarah bedirinya QT tentu merasakan ledakan yang sama di batinnya. Beliau sempat menyorot soal kecerdikan khas dalam sejarah QT sebagai pelopor terdepan dalam merespon kecenderungan jaman. Beliau mengingatkan perihal penggunaan internet sebagai sumber daya pembelajaran yang betul-betul masih langka di jamannya (2003). Akses internet 24 jam di desa bahkan melampui kesanggupan perguruan-perguruan tinggi di jaman itu.

Maka perlu kepekaan antar pihak dalam mencermati untuk kemudian merancang rencana strategis KBQT ke depan. Keterlambatan masuknya era Revolusi Industri 4.0 di negeri ini tentu jadi satu hal yang terlewat dari kecermatan yang dimaksud. Banyak proyeksi futuristik sebetulnya bisa saja kita mulai dari sekarang. Jika beberapa tahun lalu Pak Roy sempat menginisiasi pembelajaran robotik namun terkendala pengetahuan dasar-dasar pemrograman, tentu saja hal itu menjadi catatan sendiri yang sebetulnya bisa langsung diperbaiki. Jika sebagian besar dari kita sudah akrab dengan adanya pengertian bahwa 3 bidang: energi, pangan dan teknologi informasi, yang menjadi penentu masa depan sejak hari ini, tentu ruang kreatifitas yang kita rindukan makin terbuka lebar. Penggunaan gadget, media sosial, laman blog&web, digital platform, dan cara-cara inter-koneksi tanpa batas lainnya niscaya menjadi kebutuhan yang mendesak. Dan semua itu mestinya kembali pada akar pijakan semula, semacam: kemandirian komunitas, kelestarian lingkungan, humanisme, lokalitas, jejaring produktif, dll. Oleh karena itu, kita semua berharap bisa melanjutkan fase empat tahun kelima sebagai momentum penemuan jati diri, entah apa sebutannya nanti.

Karanganyar, 3-4 Agustus 2019


*Penulis buku Desaku, Sekolahku, yang juga pegiat pendidikan alternatif di Pasamuan Among Anak (Pamongan) Karanganyar dan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) Salatiga. Membaca, menulis dan berkebun adalah kegemaran lain yang sedang ditekuni, selain terlibat di beberapa komunitas, seperti: Lingkar Belajar Antar Sanggar, Karanganyar Taman Kabudayan, Kamar Kata dan Debog Wengker.