Oleh: Zia Ul Haq*

Ada secercah harapan muncul di Hari Guru tahun ini. Yakni saat menteri pendidikan yang baru, Nadiem Makarim, menggelorakan slogan 'merdeka belajar' dalam pidatonya. Ia memancing kreativitas dan inovasi guru dalam proses belajar. Ia mencoba membabat tradisi administratif yang merepotkan. Ia mengajak para guru untuk memosisikan anak sebagai pembelajar yang merdeka.

Pertanyaannya; apakah kemerdekaan belajar itu bisa dilakukan di tengah nuansa persekolahan yang sangat monolog? Lalu bagaimana caranya, sedangkan atmosfer pendidikan kita sudah ricuh oleh beban kurikulum? Dari mana memulainya bila tradisi inovasi guru kalah oleh tuntutan birokrasi?

Mungkin kita bisa belajar -salah satunya- dari Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT). Suatu ruang belajar alternatif di pelosok Salatiga yang sudah 16 tahun melakukan apa yang hari ini diserukan menteri pendidikan. Ruang belajar yang sudah mempraktikkan 'merdeka belajar' dan telah memulai kiprahnya pada tahun 2003.

Setidaknya ada tiga problem mendasar pendidikan persekolahan yang digugat Nadiem dalam pidatonya. Pertama, efisiensi dan inovasi guru. Kedua, kemerdekaan potensi anak. Ketiga, prose pembelajaran dialogis dan otonom. Tiga problem ini sudah terjawab oleh praktik belajar di KBQT.



PERTAMA, efisiensi dan inovasi guru.

Guru-guru sering direpotkan oleh atiran-aturan administratif yang begitu menyibukkan. Sehingga menguras energi mereka dan tidak bisa fokus pada efektivitas belajar bersama anak. Boro-boro memikirkan inovasi belajar, untuk mengajar sesuai kurikulum saja sudah setengah mati. Beban yang terlalu berat dan tidak realistis dengan imbalan yang dianggap kurang setimpal, terutama para guru honorer.

Sementara itu di KBQT semua problem tersebut sudah terpangkas total. Tidak ada beban administratif yang memberatkan guru -atau disebut sebagai 'pendamping belajar'. Para pendamping di KBQT memang tetap merancang rencana pembelajaran, namun sekedar berupa gambaran umum. Adapun detail pelaksanaan belajarnya dieksekusi total oleh anak-anak sesuai kondisi dan improvisasi mereka.

Obrolan para pendamping saat rapat pun bukan tentang keluhan administrasi. Pembicaraan saat kumpul pendamping bukan tentang kenaikan pangkat atau semisalnya, melainkan betul-betul membahas perkembangan belajar anak-anak, kendala yanh dihadapi, hingga memusyawarahkan solusi.

KEDUA, kemerdekaan potensi anak.

Sistem persekolahan saat ini memaksa para guru mengejar target nilai anak. Tak peduli mereka tak berminat terhadap apa yang dipelajari. Dalam rangka mengejar nilai ini, segala upaya dilakukan. Pemberian tugas pekerjaan rumah, latihan soal, try out, pengawasan ketat saat ujian, hingga manipulasi nilai di kolom buku rapot. Semuanya demi target nilai standar yang menafikan potensi khas.

Sementara itu di KBQT hampir tidak ada penyeragaman. Tidak ada seragam sekolah yang harus sama sehari-harinya. Tidak ada mata pelajaran yang sama untuk dikuasai semua anak. Tidak ada keseragaman proses evaluasi berupa ujian tertulis buat semua warga belajarnya. Semua keputusan yang terkait pembelajaran dibuat berdasarkan musyawarah bersama, dijalankan dengan semangat kesadaran, dan diawasi oleh etika sosial bersama.

Anak-anak menentukan sendiri kurikulum mereka. Pengetahuan apa yang akan mereka pelajari, keterampilan apa yang ingin mereka kuasai, bakat apa yang hendak mereka asah. Pendamping sekedar membantu memetakan konsep diri, mengenali potensi diri, memotivasi, kemudian memfasilitasi dan mengapresiasi. Di dalam lingkungan belajar semacam ini, siswa tidak terbebani oleh beban belajar yang tak mereka kehendaki, guru atau pendamping juga tidak terbebani target-target yang tidak realistis.

KETIGA, pembelajaran dialogis dan otonom.

Nadiem menganjurkan para guru untuk bergerak secara mandiri tanpa menunggu instruksi. Yakni bergerak menciptakan suasana belajar yang dialogis. Di mana siswa jangan hanya diajar, tetapi juga mengajar. Di mana siswa perlu diajak keluar berpetualang, tidak melulu dikurung di dalam kelas. Di mana siswa dilibatkan dalam kegiatan sosial, tidak melulu berkutat dengan pelajaran.

Sementara itu proses belajar di KBQT selalu bernuansa dialogis. Setiap pagi anak-anak bergantian presentasi tentang wawasan baru. Setiap hari anak-anak berdiskusi tentang berbagai tema kekinian dan realistis. Setiap pekan anak-anak bermusyawarah mengevaluasi kegiatannya selama seminggu ke belakang, dan merencanakan agendanya seminggu ke depan.

Setiap bulan anak-anak melakukan riset lapangan ke luar. Menggelar workshop-workshop ataupun mengunjungi tempat-tempat lain di luar komunitas untuk ikut belajar. Utamanya lagi, anak-anak KBQT terlibat aktif dalam acara-acara yang digelar masyarakat. Baik berupa acara yang merupakan tradisi setempat semisal Nyadran, maupun acara insidental semisal takziah kematian warga sekitar. Semuanya berlangsung alami sebagaimana berkehidupan sebagai masyarakat, tanpa perlu dirancang.

Semua pertanyaan dan kegelisahan yang tersirat dari pidato Menteri Nadiem sudah terjawab oleh praktik pembelajaran ala KBQT. Tinggal bagaimana menularkannya kepada para guru yang sudah kadung terjebak oleh birokrasi sistem persekolahan.

Hari Guru, 25-11-2019

*Penulis adalah pendamping belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah