Bukan hal yang mustahil dalam sepuluh tahun lagi sekolah-sekolah negeri ditinggalkan masyarakat. Semuanya pindah ke swasta. Begitu kata Pak Miftakh, ketua Dewan Pendidikan Kota Salatiga, mengawali obrolan kami di ruang tamu Pak Din malam itu.



Senin malam, Pak Din mengundang para tokoh berpengaruh di Salatiga untuk ngobrol tentang gelombang perubahan pendidikan nasional. Dalam obrolan santai ini, hadir Pak Miftakh (dosen IAIN Salatiga dan ketua DPKS), hadir juga Pak Dance (ketua DPRD Salatiga), serta Pak Suryo (wakil rektor UKSW). Pak Walikota batal hadir sebab masih beracara di Ungaran. Aku hadir bersama teman-teman dari How Art You Salatiga untuk nguping.

Prediksi yang disampaikan Pak Miftakh agaknya tak berlebihan. Pasalnya ia juga punya data sekolah-sekolah yang musti tutup atau dimerger dengan sekolah lain sebab jumlah siswa yang terlalu sedikit.

"Faktornya ada dua," kata Pak Miftakh, "Pertama, adanya tren keagamaan yang membuat wali murid memilih sekolah-sekolah swasta bernuansa agamis. Kedua, tidak adanya daya tawar sekolah pemerintah yang bisa menjawab kebutuhan zaman."

"Memang demikian," sahut Pak Suryo, "Kemajuan teknologi informasi dan kecerdasan buatan sudah mengubah semuanya. Perkembangan dalam segala hal berlangsung sangat cepat. Tidak pagi dalam hitungan dekade, tapi tiap tahun. Termasuk dalam bidang pendidikan. Kalau kita tidak berpikir dan bertindak out of the box, kita bakal kewalahan."

Pak Suryo menyebut beberapa contoh start-up yang mengubah segalanya saat ini. Semisal i-grow dalam bidang pertanian, serta kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dikembangkan. Ia juga mengisahkan pengalamannya saat berkunjungbke China, melihat pedagang kaki lima bertransaksi dengan e-money. Juga menceritakan kunjungannya di sebuah taman kanak-kanak unggulan di Australia, yang menerapkan pembelajaran holistik-integratif dan terlihat seperti dolanan saja.

Pak Din menanggapi curahan problem ini dengan gagasan pembentukan Sanggar Kreatif. Yakni wadah belajar dan pelatihan berbasis komunitas untuk anak-anak usia sekolah. Sanggar Kreatif bisa berupa pembelajaran teknik robotika, komik animasi, sastra, film, musik teater dan tari, dan lainnya.

"Kita akan fokus memulai pada modelling di -misalnya- 3 titik komunitas dulu. Dalam waktu dekat akan kita matangkan lagi sekaligus laporan ke Pak Walikota agar gerakan pencerdasan anak bangsa di Salatiga tercinta ini berkembang pesat!" ujar Pak Din berapi-api.

Ia juga menekankan betapa berharganya momentum saat ini. Yakni saat kita memiliki menteri pendidikan milenial yang punya arah gagasan progresif. Jangan sampai momentum ini tidak dimanfaatkan. Kalau bisa, Salatiga menjadi pionir gelombang perubahan yang sudah dihembuskan menteri pendidikan.

"Yang penting," sahut Pak Dance, "Harus jelas konsep praktisnya, detail pelaksanaan dan pemetaan lapangannya. Biar jelas nanti ketika jadi program untuk dibahas di DPRD."

Obrolan ini sejatinya hanya menjadi pembuka bagi obrolan-obrolan selanjutnya, yang lebih serius, lebih rinci dan teknis. Besok Kamis, Dewan Pendidikan akan menggelar diskusi di kantor DPRD Salatiga tentang upaya memajukan pendidikan nasional, khususnya di Salatiga. Diskusi ini diharapkan menjadi pemantik bagi ide-ide inovatif dan progresif. Pak Din sedianya diundang, tapi karena ia harus bertugas di Jakarta maka aku yang dititah mewakilinya.

___
Catatan ini merupakan reportase obrolan pendidikan #GoblokSemangat kedua, para pegiat Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, dengan tema 'Menanggapi Semangat Perubahan Menteri Pendidikan', di kediaman Pak Ahmad Bahruddin Kalibening, Senin 2 Desember 2019, pukul 20.00-23.00 WIB. Reportase ini ditulis oleh Zia Ul Haq