Dengan siapa kita hidup? Dengan apa kita hidup? Pengabdian apa kita pada hidup?.

Baru saja melewati obrolan menarik dengan Pak Wan dan Mas Akbar di tengah-tengah keheningan malam yang dingin. Mas Akbar memulai obrolan dengan berbagi konsep “Surau; Kiai, Langgar”

Ada 3 dasar filosofis dari konsep yang dimaksud oleh mas akbar; Dengan siapa kita hidup? Dengan apa kita hidup? dan pengabdian apa kita pada hidup?


Dengan siapa kita hidup?

Jawabannya sederhana, kita hidup dengan keluarga. Kemudian pertanyaannya adalah siapa keluarga itu?. Apakah itu ayah, ibu, adik, kakak, paman, bibi dan orang yang memiliki hubungan darah dengan kita?. Tidak, tidak sesempit itu. Yang disebut keluarga adalah orang terdekat dengan kita. Memang betul bahwa ayah, ibu, adik, dll itu adalah orang yang dekat dengan kita. Namun keluarga tidak dibatasi oleh hubungan darah.
Jangan lupakan tetangga kita. Mereka adalah orang yang selalu berbagi dengan kita. Mereka berbagi kisah, perhatian, bahkan lauk. Siapa yang menegur ketika kita pulang terlalu malam?, siapa yang rewang ketika kita ada hajatan?, dengan siapa kita berbagi kisah dan beban?. Ada peran-peran yang tidak bisa diberikan oleh saudara sedarah kita yang merantau jauh di sana.

Dari sinilah kekuatan sebuah peradaban sebenarnya. Jika setiap orang masih memiliki kemauan untuk berbagi, konstruksi sosial yang ramah akan selalu terjaga.

Dengan apa kita hidup?, apa lahan penghidupan kita?, bagaimana kita mendapatkan makanan yang kita makan setiap hari?. Apakah ada proses-proses eksploitatif disana?, apakah cara kita mencari makan merugikan orang lain?.
sekitar 2 bulan yang lalu, pak Din pernah melempar ide membeli mesin pembuat batako untuk memproduksi batako. Pak Din mengkalkulasikan bagaimana mesin ini dapat memberikan keuntungan besar. Dengan cara manual, seorang pekerja batako hanya mampu memproduksi 500an batako per harinya. Sementara mesin ini mampu memproduksi hingga 3000 buah batako setiap harinya.

Waktu itu saya terpikir pada kang Ndikin. Kang Ndikin adalah pembuat batako. Ia menerima pesanan pembuatan batako. Biasanya pesanan datang dari warga Kalibening sendiri, setahu saya sangat jarang kang Ndikin memproduksi batako di tempat lain. Dengan pesanan yang tidak datang setiap hari, ia mencari penghidupan dibidang lain; serabutan. Di kalibening sendiri ada toko material yang cukup besar.  Selain hanya menampung-jual bahan bangunan, took ini juga memproduksi bahan mentah menjadi bahan yang siap dipakai untuk membangun; rangka besi misalnya.
Dua hari yang lalu, saya dan beberapa kawan mencari batako untuk bahan membikin gubug jamur. Waktu itu saya melihat kang Ndikin sedang bikin batako di tempat ini. Ternyata sekarang ia bekerja di took ini. Ia dibayar mingguan untuk mengerjakan pembuatan batako. Ingat bahwa orientasi dari took adalah keuntungan yang lebih besar. Ketimbang kulakan, took lebih memilik produksi sendiri untuk dijual. Artinya, took hanya membeli mesin, pasir, semen dan tenaga kang Ndikin untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Dari sini saya berpikir, alangkah merdekanya jika kang Ndikin memiliki mesin sendiri, memproduksi sendiri, kalkulasi sendiri. Pasti ada keuntungan berlebih jika disbanding ia bekerja dengan gaji mingguan di took ini.
Obrolan kami terus berlanjut dan sekelebat cerita diatas dikaitkan dengan sila pertama dari pancasila; Ketuhanan yang maha esa. Kini, tidak ada lagi itu ketuhanan yang maha esa. Kini keuangan yang maha esa sepertinya lebih relevan. Tujuan hidup seseorang tidak lebih dari sekedar memperkaya diri. Kepeduliannya sudah terkikis, semangat berbagi dan gotong royongnya telah pudar. Memiliki, dan menguasai menjadi visi utama seseorang.

Apa pengabdian kita pada hidup?, yang yang telah kita lakukan selama hidup?, bagaimana kita dapat bermanfaat bagi orang lain?. kita seperti hidup tidak sendiri, kita adalah makhluk social yang membutuhkan satu sama lain. sudah sepantasnya sebagai manusia kita saling membantu, saling peduli, dan mengerti. Ada sedikit penekanan di sini. Peduli saja tidak cukup. Kita harus mengerti dan bijaksana.

Pak Ridwan berbagi cerita. Ia menceritakan simbah Mansyur dari Tuban pencipta Sholawat badar. Mbah Mansyur adalah sosok yang hidup di era dimana kebanyakan manusia menuhankan uang. Belum ada setahun mbah Mansyur “mangkat” memenuhi panggilan Illahi.

Sampai saat ini, hampir disetiap surau karyanya di-gema-kan, disenandungkan dengan lirih oleh para mu’adzin sembari menunggu jamaah datang ke surau untuk berjamaah. Dari penyanyi skala nasional macam Opick sampai penyanyi asal turki seperti Maher Zain turut serta mengumandangkan karyanya. Bahkan pak ridwan pernah menemui kelompok drumband dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) memainkan notasi ciptaan mbah Mansyur ketika latihan di halaman kampus.

Kemudian pak wan menambahkan, andaikan mbah Mansyur menuntut royalty dari hak ciptanya, mungkin ia sudah menjadi milyader. Tapi tidak. Ntah karena tidak tahu atau tidak mau, mbah Mansyur tidak menuntut royaltinya. Mas Akbar menambahkan, ya itulah salah satu sosok yang kebal dari efek dari visi-visi postmo yang mengedepankan keuntungan. Sangat bertolak belakang dengan BANGsa GARong di DPR sana.

Kemudian mas Akbar mengkritisi masjid-masjid megah yang HANYA dibuka ketika waktu sholat tiba. baginya itu sangat tidak lucu. Konsep Surau menentang itu. Seharusnya surau dapat menjadi tempat bercengkrama, dan berbagi. Percuma kalau membangun masjid yang megah, namun jiwa-jiwa manusia yang ada di dalam masjid itu sepi dan sendiri. Percuma membangun masjid megah jika tidak diikuti dengan konstruksi social, dan budaya yang kuat.

Saya jadi teringat ketika 3 bulan di pariaman. 3 bulan di Pariaman memberikan pengalaman yang berharga. Waktu itu saya ketemu pak Mardison. Pak Mardison bisa disebut sebagai tokoh kampung. Ia bernaung di Desa Naras Hilir, Kota Pariaman. Lewat yayasan Ma’arif pak Mardison menjalankan Pendidikan Anak Usia Dini di rumahnya. Dari Pak Mardison ini saya mendapat banyak cerita tentang surau.

Menurut pak Mardison, Istilah Surau sebenarnya datang dari Minang. Surau yang di sini di sebut Langgar adalah bangunan kecil tempat masyarakat mengadakan kegiatan yang sifatnya berjama’ah. Ntah itu Sholat, pengajian, Musyawarah kelompok, dll. Ceritanya, Pak Mardison dulu jarang tidur di rumah. Ia lebih sering menginap di surau dekat rumahnya. “dulu itu ada kelompok silat di kampung sini, latihannya itu di surau, kadang itu bisa sampai malam latihannya, nah karena malas pulang ke rumah ya tidur di suaru aja. Kan mantab itu bisa bakar singkong dan tidur bareng teman-teman di surau”. “surau tidak sekedar dijadikan sebagai tempat sholat. Tapi tempat ibadah. Ibadah itu kan tidak cuman sholat kan?.” Sambungnya.

Sebenarnya masih banyak sekali obrolan tadi yang bisa di tuangkan dalam bentuk tulisan. Namun, konteks pembicaraannya sudah lain;  tentang Israel-palestina, konflik tanah yang menjadi konflik agama. Mungkin akan menjadi judul yang lain nantinya. Sekian.
Hilmiy, 3 Maret 2012