Oleh: Fina Afidatussofa (Pendamping Belajar)

Sebagai angkatan pertama, tentu ada banyak sekali kesan yang saya rasakan selama berproses di KBQT. Dari sejak komunitas ini masih menggunakan sistem sekolah, berangkat jam enam pagi untuk kegiatan english morning, ada ujian dan perebutan peringkat. Sampai pelan-pelan mengalami perubahan demi perubahan dan jadilah komunitas belajar.

Sekolah atau komunitas ini dinamis setiap tahunnya. Jika pada tahun pertama kami begitu padat dengan jadwal pelajaran dan berorientasi pada nilai, pada tahun ke dua suasana mulai semarak dengan proses belajar yang semakin enjoy dan banyak inovasi.

Pada zaman dimana internet belum mudah diakses oleh masyarakat bahkan pelajar, Pak Din sudah memiliki gagasan bahwa yang diperlukan dalam belajar bukan pagar sekolah, tapi koneksi atau jaringan. Internet unimited menjadi fasilitas paling menarik buat kami ketika itu. Jadi selain kami diajak untuk belajar mengenali desa mulai dari sejarahnya, isu-isu desa, masalah penduduknya, dan sebagainya, kami juga bisa terhubung ke berbagai jaringan di luar. 

Fina (tiga dari bawah) bersama teman-teman KBQT


Di Qaryah Thayyibah saya banyak belajar tentang pentingnya melihat ke sekeliling dan mempelajari apa saja yang ada di sekitar. Kata Pak Din, agar kami tidak tercerabut dari akar. Proses belajar berupa wawancara ke masyarakat, menulis dan mempresentasikannya di depan kelas adalah kegiatan belajar kami sehari-hari.

Pak Din kerap mengatakan bahwa titik keberhasilan kami adalah mengenal desa sendiri dan menjadi orang bermanfaat. Local resources menjadi materi belajar yang tiada habisnya. Cita-cita Pak Din adalah kelak kami harus bisa berdaya di desa sendiri, mengenal dan memahami potensi desa serta mengupayakan berbagai hal positif untuk desa.  Rasa cinta desa dan cita-cita untuk dapat berkontribusi pada lingkungan tempat berpijak adalah harapan yang dididikkan sejak bergabung di QT. Agar kami tidak tercerabut dari akar.

Tahun ke tiga kami mulai dikenalkan dengan projek dan karya bersama. Selain masih aktif dengan jadwal kelas harian, ada berbagai projek yang kami garap silih berganti. Mulai dari produksi film, budidaya belut, sampai rencana pembuatan kolam renang khusus muslim.  Di tahun ke tiga ini kami mulai agak dibebaskan. Jadwal tidak sepadat tahun-tahun sebelumnya.

Bahkan pengelola mendeklarasikan di hadapan kami serta wali murid bahwa Qaryah Thayyibah tidak lagi terhubung dengan sekolah induk, karenanya QT kemudian mengadakan  ujian mandiri dan ditiadakan ranking.  Bagi saya ini nafas baru, semangat baru, dan langkah awal memecah pola menyeragaman. 

Jadilah masing-masing individu mulai proses yang lebih dinamis lagi dalam upaya-upaya eksplore dan penggalian potensi diri. Setiap individu, mencoba berbagai macam minat. Hari-hari dihadapkan dengan beragam proses produksi, diskusi-diskusi dan pembahasan tentang mimpi-mimpi.

Saya yang ketika itu belum bisa memutuskan mau fokus di apa, mengikuti proses belajar apapun yang bisa saya ikuti di sekolah/komunitas. Menulis novel -naskah film- naskah teater, ikut jadi tim redaksi majalah, latihan musik, latihan vocal, bikin lagu, latihan gambar, latihan skect up, editing film. Bikin Forum Rohis, ikut forum gender, forum masak, forum sanggar, forum kepribadian, filsafat, teater, bahasa inggris, bahasa Arab, IT. Belajar astronomi, kesehatan, sastra, dll. 

Untuk memantik semangat belajar kami sering diajak Pak Din ikut seminar pendidikan, dolan ke berbagai komunitas, ikut berbagai pelatihan, entah multimedia, penulisan novel, jurnalistik, dll. Agar kami memiliki jaringan dengan banyak orang di luar.  Selain dengan para pendamping atau tutor QT, kami juga belajar dengan banyak sekali  tamu yang berdatangan silih berganti, dan kemudian ada ikatan erat dengan QT. Kami merasa memiliki banyak sekali guru. Beragam orang berkunjung dan mumpuni di berbagai bidang. Kami bisa belajar apa pun. 

Koneksi internet juga memudahkan kami mengakses ilmu serta terhubung dengan berbagai guru dimana saja untuk menunjang minat kami. Kata Pak Din kelas-kelas online adalah media belajar yang sudah harus mulai dibuka di era itu. Era dimana smartphone belum muncul ,dan online di rumah baru sebatas khayalan. Proses diskusi berbagai topik bahasan biasa di gelar dimana-mana. Di berbagai sudut sekolah, bahkan di "kantin" atau warung makan milik warga.

Rencana pembuatan karya, diskusi projek-projek, dan beramai-ramai unjuk gigi di acara Gelar Karya menghidupkan semangat kami untuk mengikuti ritme QT: Belajar dengan gembira dan berkarya sebanyak-banyaknya.  Sebab kata Pak Din salah satu indikator menjadi manusia bermanfaat adalah memiliki karya. Jadi kami tertantang untuk selalu memikirkan target produksi.

Ketika itu selain projek karya individu, kami juga membentuk kelompok-kelompok untuk mendiskusikan karya apa yang mau ditampilkan di Gelar Karya. Terbentuklah berbagai kelompok lintas kelas yang bersinergi dalam pengerjaan karya. Sampai muncul berbagai production House. Season Family, Big Family, MR Cinimage dsb.

Pada pertengahan masa SMU (Kami menyebutnya Sekolah Menengah Universal), saya mulai ambil fokus minat.  Selain berusaha memfasilitasi anak sesuai kecenderungannya, QT juga mengenalkan pentingnya berjejaring dan terhubung dengan banyak orang yang sefrekuensi di luar. Kebetulan di tahun-tahun itu ada penerbit datang ke komunitas untuk mencari naskah novel yang bertemakan pesantren. 

Kebetulan pula saya sedang gandrung-gandrungnya dengan dunia pesantren dan mulai menulis novel pertama dengan tema tersebut. Saya pikir jarang sekali ada novel yang mengangkat tema itu. Bertepatan dengan rampungnya novel tema santri setelah sebelumnya ijin kelas selama seminggu untuk penggarapan naskah, direktur sebuah penerbit Mayor Jogja (LKIS) sambang ke QT dan meminta naskah bertemakan pesantren untuk diterbitkan.

Masa itu LKIS tengah merintis anak penerbit yang khusus menerbitkan naskah-naskah novel dengan latar pesantren.  Sejak saat itu, dunia minat yang saya jadikan fokus dalam hal skill adalah dunia kepenulisan, disamping hal yang berkaitan dengan multimedia. Selain masih tetap mengikuti forum-forum serta beragam program belajar yang ada di QT, fokus utama saya adalah pendalaman kajian kitab pondok dan menulis.  Penerbit secara intens dan berkala mengajak kami bedah novel di berbagai pesantren dan melibatkan  dalam even-even sastra. Kemah sastra santri menjadi even tahunan yang menghubungkan tidak hanya dengan berbagai sastrawan tapi juga dengan para penulis pesantren. 

Pendamping kelas kami, Pak Ahmad, pernah menuturkan bahwa selain memilih fokus skill sebaiknya kami juga musti memilih fokus keilmuan. Jadi selain tetap belajar secara random dan variatif melalui forum-forum dan kelas, saya memilih  sastra, multimedia serta ilmu agama untuk menjadi titik fokus.  Sebab QT bukanlah sekolah yang mengikat. Dengan semangat belajar dimana pun, jadilah ketika itu setiap tahunnya saya selalu ada waktu ijin untuk belajar ke beberapa pesantren dan mengkhatamkan ikitab- kitab dalam kurun waktu tertentu.

Didampingi wali kelas, saya membentuk forum Rohis yang kemudian diisi dengan diskusi beberapa kitab. Di QT, selain bisa mengikuti berbagai forum yang sudah lama terbentuk, siapa pun boleh membentuk forum apapun yang disukainya lalu mengajak kawan lain dari kelas mana saja untuk bergabung. Segala inisiatif selalu ada dukungan dan diiringi rasa percaya serta apresiasi juga pendampingan. Sedang konsep pendampingannya adalah dengan belajar bersama.  

Karena selain di QT saya juga jadi santri kalong di PPHM (pondok yang ada di desa), saya kemudian ambil benang merah dari proses belajar yang saya jalani. Pendalaman ilmu agama intens di pesantren dan kemudian QT adalah wadah untuk mengasah skill dan menambah  wawasan serta ragam wacana. 

Bagi kami QT bukan sebatas tempat untuk mengasup berbagai macam pengetahuan, apalagi sekedar cari ijazah. Tapi juga wadah untuk memantik semangat berproduksi, semangat berbagi inspirasi, saling bersinergi dalam bebagai hal positif, dan wadah belajar apapun dalam upaya berbaikan serta peningkatan diri.