Selamat Bermuktamar, Muhammadiyyah!

Oleh: Ahmad Bahruddin


Alhamdulillah seharian kemain (17/10/'22) menemani Prof. Abdul Mu'ti (Sekum PP Muhammadiyyah) serta mbak Diyah Puspitarini (Ketum Nasyiatul Aisyiyah yang juga Komisioner KPAI terpilih periode terahir ini), pada Seminar Nasional dalam rangka Pra Muktamar Muhammadiyah di gedung K.H. Hasyim Asy'ari UIN Salatiga. Saya diminta menyampaian tema "Ormas dan Moderasi Beragama di Indonesia".



Ormas (Civil Society Organization, CSO) adalah sekelompok masyarakat warga yang yg memiliki kepentingan dan tujuan diperjuangan bersama-sama untuk diwujudkan.


Muhammadiyah misalnya, diawali dari gerakan "Alma’un” Muhammad Darwis (K.H. Ahmad Dahlan), adalah ajaran "radikal" agama Islam yang mutlak mewajibkan bagi pemeluknya untuk mencintai dan memuliakan kemanusiaan. Demikian juga Nahdlatul Ulama, diawali dari kajian ilmiah "Tashwirul Afkar", berlanjut ke Komite Hijaz, sungguh-sungguh (jihad ijtihad) membela keadilan melawan kesewenang-wenangan kekuasaan yang mengancam hilangnya "great tangible heritage" (warisan agung dari Rasulullah SAW).


Sayang, perkembangan lebih lanjut -termasuk kedua ORMAS terbesar di Indonesia ini- menjadi ORMAS membership dan “politis” justru terancam menjadi Ormas Oportunis, terjebak pada kepentingan organisasi itu sendiri termasuk kepentingan naiknya "bargaining power" yang bisa saja "then power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely".


Sebagaimana kongres kedua "Internasionale" adalah aksi-aksi Sosialis Internasional, (second International, yakni organisasi partai-partai sosialis dan buruh yang dibentuk di Paris pada 14 Juli 1889) yang berhasil mengejawentahkan ide-ide agung dan mulia, terwujudlah deklarasi 1 Mei 1889, yang selanjutnya menjadi Hari Buruh Internasional (May Day).  


Sementara pengejawentahan ke Partai-Partai Sosialis Serikat Pekerja Internasional (International Working Union of Socialist Parties, IWUSP), justeru berkembang menjadi “Ormas Oportunis”. 


Beda dengan Budi Utomo (Indonesia), yang sampai hari ini, nilai-nilai kejuangan Budi Utomo kita kenang, bahkan kelahirannya kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dan Budi Utomo juga tidak berkembang menjadi Ormas Membersip.


Terkait dengan isu aktual, banyak Ormas (untuk tidak mengatakan semua), alih-alih "care and sympathy", nyambung pun tidak!


Misalnya terkait dengan bencana hidrometeorologi yang sedemikian mengancam, tidak pernah kita dengar bagaimana peran Ormas yang serius menanganinya. Apalagi aksi nyata memelopori gerakan konservasi sumber daya alam baik cara sipil teknis maupun nabati. Lebih-lebih terkait dengan "climate change" hingga "global warming". 


Amat sangat sedikit orang seperti Ahmad Darojat Jumadil Qubro (studi ilmu hadits UIN Salatiga) yang secara detail meneliti pelepasan CH4 (methane) ke atmosfir dari proses fermentasi oleh mikroba pada tinja manusia, dengan asumsi 200 gram tinja per orang per hari, ternyata manusia berkontribusi melepas emisi sekitar 60,1 liter CO2 equivalent. Kalau semua tinja manusia bisa masuk digester, disamping akan dapat "renewable energy" dan pupuk organik, emisi yg terlepas ke atmosfer tinggal sekitar 5,1 liter CO2 equivalent (tinggal 8,7 %).



Nah, adalah mutlak perlu, kembali ke "khittah"; revitalisasi nilai-nilai universal bersinergi dengan kelompok-kelompok (Ormas) lain berlatar belakang apapun dalam mewujudkan:


Kedaulatan politik ummat

Kesejahteraan (ekonomi keummatan)

• Kebudayaan (nalar kritis kreatif dan inovatif) ummat

Keadilan sosial menyeluruh termasuk keadilan gender (keadilan relasi kuasa berdasarkan jenis kelamin)

lingkungan (penguatan daya dukung SDA serta reduksi emisi GRK)


Allahu a'lam. Selamat bermuktamar, Muhammadyah. 'Alayna ajma'iyn, qaryatun --> baldatul thayyibatun wa rabbun ghofuur.