Oleh: Zia Ul Haq*

Pada awal berdiri tahun 2005, para siswa Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) bersitegang. Anak-anak setara SMP itu berdebat tentang keikutsertaan dalam ujian nasional. Sebagian memilih tidak perlu ikut ujian nasional, sebagian lagi bersikeras ikut ujian nasional.

Dalam musyawarah yang cukup alot, mereka bermufakat bahwa tiga siswa yang ikut ujian nasional harus membuat karya tulis, yakni berupa riset terhadap praktik ujian nasional. Hasil riset itu kemudian menjadi buku berjudul 'Lebih Asyik Tanpa UAN' (terbitan LKiS Yogyakarta, 2007). Sejak saat itu hingga hari ini, ujian nasional tak memiliki urgensi apapun di lingkungan belajar KBQT.

Gagasan Sandiaga Uno tentang penghapusan ujian nasional bukan hal baru. Wacana ini sudah muncul pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pemilu 2014, Joko Widodo juga melontarkan gagasan ini sebagai bahan kampanye. Saat itu ide penghapusan ujian nasional dicanangkan sebagai daya tawar bagi pemilih tingkat pelajar.

Pada masa kepemimpinannya, Joko Widodo memang tidak menghapus ujian nasional secara total. Tapi ia sudah mengurangi peran ujian nasional, bukan lagi menjadi penentu utama kelulusan pelajar. Sejak 2015, ujian nasional tidak lagi menjadi syarat mutlak bagi kelulusan para siswa. Ujian nasional hanya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengukur kompetensi peserta didik secara nasional. Jadi secara fungsi, ujian nasional bisa disebut sudah 'dihapus' keseramannya. Tentu hal ini merupakan kebijakan yang patut diapresiasi.

Lalu apa hal baru yang ditawarkan Sandiaga Uno?

Dalam debat cawapres tempo hari, ia menawarkan penggantian ujian nasional dengan penelusuran bakat minat. Alasan Uno, ujian nasional merupakan pemborosan dan tidak berkeadilan. Ia juga menawarkan perombakan kurikulum agar fokus pada pembangunan akhlakul karimah.

Entah bagaimana ukuran pemborosan yang dimaksud. Pada tahun 2018 kemarin, penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) menghabiskan dana hingga 35 miliar rupiah. Anggaran ini jauh lebih irit 70% dibanding ujian nasional sebelum komputerisasi, yakni sebanyak 135 miliar rupiah. Tentu saja alokasi terbanyak saat itu adalah untuk keperluan tenaga pengawas.

Untuk menghapus ujian nasional, Uno jelas harus berhadapan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Itulah sebabnya penghapusan ujian nasional tak bisa diimplementasikan secara total sejak dahulu. Paling jauh adalah kebijakan pengurangan peran ujian nasional yang sudah ditetapkan oleh Joko Widodo. Namun perlu diakui bahwa gagasan Uno tentang penelusuran bakat dan minat bisa menjadi angin segar bagi praktek pendidikan di Indonesia.

Bukan rahasia bahwa pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada kebutuhan industri. Penyeragaman masih sangat kental terasa dalam kurikulum dan pembelajaran di sekolah. Perhatian terhadap pembelajaran atas potensi khas lokal kedaerahan maupun kemampuan individual anak masih sangat kurang. Belum lagi paradigma pembelajaran yang masih memosisikan siswa sebagai obyek belajar, bukan subyek yang berperan aktif dalam proses belajar.

Sebagaimana cerita di awal tulisan, kami di KBQT sudah sejak awal mula tak menyelenggarakan ujian nasional. Bukan hanya itu, di KBQT bahkan tidak ada mata pelajaran. Kami memahami bahwa setiap anak memiliki potensi khasnya masing-masing. Sehingga di sini, anak belajar apapun yang mereka minati secara gembira dan bertanggung jawab. Tidak ada program penelusuran bakat dan minat, sebab anak sudah dimerdekakan untuk menelusuri bakat dan minat mereka sendiri secara alami.

Ujian di sini berbasis karya, berupa presentasi atas karya yang sudah dibuat selama satu semester. Untuk keperluan ijazah formal, ujian paket dilakukan secara santai tanpa ketegangan. Itupun hanya berlaku bagi siswa yang minat. Bagi yang tak minat, tak ada paksaan. Jadi secara praktis, wacana penghapusan ujian nasional tak berpengaruh terhadap daya belajar anak. Sebab mereka belajar berdasar minat dan karya, bukan belajar untuk ujian dan kelulusan semata.

Jika memang para calon pemimpin betul-betul serius membenahi sistem pendidikan, mulailah dengan pandangan apresiatif, bukan instruktif. Mulailah dengan kesadaran bahwa siswa sekolah butuh kemerdekaan belajar sebagai manusia dengan potensi khas. Bukan penyeragaman dan pencetakan sebagai mur-baut dalam mesin besar industri.

Meskipun biaya sekolah dari tingkat paling bawah sampai perguruan tinggi sudah digratiskan. Ataupun berbagai jenis ujian sekolah sudah dihapuskan. Maupun modernisasi barbagai sarana pembelajaran. Tetap tidak akan berpengaruh banyak dalam peningkatan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia, jika paradigma yang dipakai masih menganggap siswa sekolah sebagai obyek dan proyek.



*Penulis adalah pendamping belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, Kalibening Tingkir Salatiga