Oleh: Ilalang
Nasionalisme berasal dari kata 'Nation' yang dalam Bahasa inggris berarti bangsa dan kata 'Isme' yang berarti kepercayaan. Dalam praktek nasionalisme, tampak sebagai gerakan yang memperjuangkan, atau mempertahankan kemerdekaan, kemakmuran atau kepentingan-kepentingan lain dari suatu bangsa. Kebanyakan teori menyebutkan bahwa nasionalisme dan nilai-nilainya berasal dari Eropa, yang muncul pada abad 17.
Kata nasionalisme mulai menjalar ke seluruh dunia pada masa revolusi Perancis dan masa perjuangan Napoleon Bonaparte. Sementara di Indonesia sendiri, orang-orang berpikir nasionalisme mulai terbentuk saat organisasi Budi Utomo berdiri, dan menjadi lebih solid saat Sumpah Pemuda diserukan tanggal 28 Oktober 1928. Meskipun begitu, sebenarnya nasionalisme di Indonesia sudah ada sejak era abad perdagangan antar pulau sekitar abad ke-4 dan ke-5.
Dalam pendidikan di Indonesia, nasionalisme disalurkan melalui pelajaran Sejarah dan Kewarganegaraan. Dalam pelajaran sejarah, siswa belajar mengenai perjuangan para pahlawan, peristiwa-peristiwa penting, dan sebagainya. Sementara di Kewarganegaraan, dimuat perbuatan-perbuatan sosial, Tata Negara, hak dan kewajiban negara dan warga negara, dan banyak lagi. Sayangnya, pelajaran-pelajaran tersebut, bahkan hampir semua pelajaran, membuat siswa cenderung menghafalnya, daripada memahaminya. Apalagi kalau di mata siswa hanya ada "nilai bagus". Masa bodoh dengan merasuknya nilai-nilai nasionalisme, asalkan dapat nilai bagus, dan ending-nya dapat ijasah.
Pendidikan Indonesia pun tidak dapat disalahkan begitu saja, karena masih ada campur tangan penjajah dalam masalah ini. Para penjajah menyesuaikan paradigma pendidikan mereka untuk Indonesia dengan cita-cita dan tujuan penjajahan mereka, dengan tujuan tidak terciptanya pemahaman kritis yang bisa mengancam eksistensi mereka. Tentu saja 'warisan' semacam ini membuat rasa nasionalisme semakin lemah di generasi muda. Kita tahu saat Indonesia masih dijajah, ledakan nasionalisme lah yang membuat Indonesia lepas dari belenggu penjajah. Bisa dipastikan kita semua tidak mau menunggu sampai Indonesia dijajah lagi, baru kita menegakkan nasionalisme. (Karena sekarang, Indonesia memang sudah dan sedang 'dijajah' secara non-fisik).
Kenyataan yang terlihat sekarang di sekolah-sekolah Indonesia adalah 'sukuisme', bukannya nasionalisme. Sekolah-sekolah terjebak Persaingan dalam prestasi, jumlah murid, kelengkapan fasilitas belajar dan hal-hal lain demi gelar Sekolah Favorit, walau harus sikut-sikutan. Belum lagi ditambah persaingan dalam bentuk pertarungan fisik alias tawuran. Yang penting sekolahnya menang, walaupun harus menjegal sekolah lain. Apa itu yang disebut nasionalisme?
Sekilas Tentang Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah yang sekarang terdiri dari tingkat SMP, SMA, dan "Pasca SMA" ini didirikan oleh seorang aktivis petani bernama Ahmad Bahruddin. Menempati bagian bangunan rumahnya, yang tadinya adalah kantor Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), LSM yang dikelolanya. Berbeda dengan sebutannya sekarang (Sekolah unik, dsb.), Pak Bahruddin awalnya tidak pernah berpikiran untuk membuat sekolah yang lain daripada yang lain. Beberapa ide awalnya adalah: Membuat sekolah yang proses pembelajarannya didasari kegembiraan siswa dan guru, sekolah yang berpihak pada keluarga dengan ekonomi menengah-kebawah, sekolah dengan partisipasi semua elemen, dan sekolah yang berlandaskan semangat pembebasan menuju arah yang lebih baik. Jika diperhatikan dengan seksama, nasionalisme sudah tersirat di ide-ide awal tersebut. Dengan gagasan-gagasan awal yang seperti itu justru menambah gagasan-gagasan baru, contohnya, ditiadakannya gerbang sekolah, upacara bendera sekaligus tiang benderanya, (keduanya dianggap tidak perlu) bahkan sebutan "guru" pun dihilangkan. Guru digantikan oleh pendamping belajar. Karena di sekolah ini tidak ada kata-kata "Guru mengajar-Siswa Belajar", tapi "siswa dan guru belajar bersama-sama". Mungkin karena gagasan-gagasan yang--sepertinya--aneh ini, Sekolah Qaryah Thayyibah sering dicap 'berbeda'.
Ditilik dari namanya yang dalam bahasa arab berarti Desa yang Baik, sekilas Pak Bahruddin tampak berpikiran sederhana. Karena hidup di desa, cita-citanya tentu saja membuat desanya menjadi lebih baik. Tetapi coba bayangkan kalau setiap desa di Indonesia baik, maka kecamatannya tentu juga baik. Kalau semua kecamatan baik, tentu tingkat kabupaten juga baik. Begitu seterusnya sampai terwujud Negara yang lebih baik.
Nasionalisme di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
Di QT (Qaryah Thayyibah), tidak akan terlihat jelas hal-hal yang berbau nasionalisme. Bahkan bisa dibilang anak-anak QT tidak begitu faham tentang Nasionalisme (termasuk saya sendiri). Sebenarnya QT masih dalam proses pembelajaran (yang takkan pernah berhenti) termasuk tentang nasionalisme. Tapi secara tidak langsung dan secara tidak sadar, nilai-nilai nasionalisme itu sudah berjalan dalam tubuh QT.
Sebagai contoh, sekolah ini tidak punya tiang bendera. Yang kelihatan justru Tower setinggi kurang lebih 40 meter yg digunakan untuk akses internet. Tentu saja, tidak ada upacara bendera setiap hari Senin. Meskipun begitu, hampir setiap tahun, saat memperingati Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Kemerdekaan, semua siswa dan pendamping berkumpul di aula, sambil menyanyikan Lagu Mars, Hymne, dan Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya". Saat menyanyikan lagu "Indonesia Raya", di tengah-tengah lagu suara para siswa dan pendamping menghilang satu-persatu. Sebagian besar mata mereka berkaca-kaca. Beberapa menit setelah lagu selesai, suasana ini masih belum hilang. Pelajaran apa yang dapat diambil dari kejadian tersebut? Bagi kami, itulah Nasionalisme. Untuk apa setiap hari Senin pagi melaksanakan upacara bendera, memberi hormat pada Sang Merah Putih, menyanyikan Lagu Kebangsaan, mengheningkan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan, mendengarkan Pancasila dibacakan, tapi tidak pernah bergetar hatinya karena rasa cinta terhadap Tanah Air.
Contoh yang lain, di setiap kelas, pendamping tidak pernah mengatur, apalagi membuat peraturan untuk kelas tersebut. Hampir semua hal dalam kelas diatur bersama oleh para siswa itu sendiri. Seperti jadwal pelajaran, jam masuk kelas, jam pulang, bahkan sampai hukuman-hukuman semuanya diputuskan bersama oleh siswa. Musyawarah, diskusi, solidaritas, persatuan, sangat dijunjung tinggi. Bahkan Indonesia pun takkan pernah bisa merdeka kalau tak bersatu dan bekerja sama melawan penjajah.
Satu hal lagi, nasionalisme di QT adalah belajar. Mungkin tak pernah terlintas di benak kita bahwa belajar adalah bagian dari rasa nasionalisme. Tapi coba baca sedikit lirik Hymne QT ini,
Belajar terus belajar
Belajar sepanjang masa
Menuju generasi bangsa
Cerdas dan berbudaya
Cukup jelas tentunya, manusia-manusia QT berprinsip untuk belajar sampai akhir hayat, tenggelam dalam Long-life Education, untuk membangun generasi bangsa yang lebih baik.
Nasionalisme di pandangan generasi muda jaman sekarang jelas perlu diperbaiki. Salah satu caranya adalah belajar memahami apa itu nasionalisme dan mengamalkannya, tidak hanya menghafalkan, apalagi sekedar tahu. Seperti yang kita tahu, nasionalisme itu adalah rasa cinta terhadap tanah air. Yang namanya rasa cinta, tentu kita tidak ingin bangsa kita jadi buruk. Buruk kondisinya, apalagi buruk kelakuannya.
Dengan kata lain, selain kita berani membela bangsa, kita juga harus berani mengkoreksinya kalau memang melakukan kesalahan. Berani karena benar, takut karena salah. Jangan mentang-mentang nasionalisme sudah benar, kita bisa seenaknya sendiri kepada bangsa lain. Itu artinya, nasionalisme kita malah bisa merusak dunia. Coba renungkan kata-kata dibawah ini.
TIDAK ADA YANG BISA MERUBAH NASIB SUATU BANGSA KECUALI BANGSA ITU SENDIRI.
Sekian.
0 Comments