Oleh: Ahmad Bahruddin

Istilah kelirumologi pertama kali dicetuskan oleh Jaya Suprana. Adalah situasi yang salah (keliru) yang secara umum sudah dianggap benar oleh masyarakat luas. Demikian juga dengan Penddikan, Kesehatan, dan Pemberantasan Korupsi yang ahir-ahir ini menjadi perbincangan hangat karena ada revisi UU KPK.

Pendidikan

Nyaris total sudah terpahami secara luas, bahwa Pendidikan itu urusan Sekolah. Iya, Pendidikan sudah dikelirumologikan dengan Sekolah. Ketika orang ditanya tentang pendidikannya, jawaban yang kita dapatkan selalu merujuk ke sekolah bahkan sekolah formal. Bisa dijawab lulus SD, SMP, SMA atau PT. Jarang sekali, capaian-capaian berkat proses pembacaan (qiraah) dan penelaahan (tadabbur) atas konteks kehidupan sehingga berkemampuan optimal mengelola sumber daya kehidupan yang menyeluruh, menjadi jawaban, karena memang, si penanya pun juga sudah terkelirumologikan pada “Sekolah”.

Ketika negara memperhatikan pendidikan, juga sudah terlalu jauh terkelirumologikan ke sekolah. Delapan Standar Pendidikan Nasional; Standar Kompetensi Lulusan, Isi, Proses, Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Sarana - Prasarana, Pengelolaan, Pembiayaan, dan standar Penilaian, semuanya juga mengatur tentang “sekolah”. Sampai-sampai sarana PAUD yang baik pun harus diatur sedemikian rupa, misalnya harus memiliki ruang kegiatan anak dengan rasio 3 m2 per anak, memiliki ruang guru, ruang kepala sekolah dan seterusnya, dan Negara wajib menyediakannya.

Tahun 2016 saya berkesempatan mengantarkan bu Ella Yulaelawati direktur Dit Pembinaan PAUD meninjau pembangunan ruang kelas PAUD “Sorgum” di Likotuden, desa Kawalelo, kec. Demonpagong, kab. Flotim, NTT, bantuan Ruang Kelas Baru (RKB) dari Kemendikbud senilai sekitar Rp 200 juta. Tentu, kami bersyukur karena ada kepedulian dari pemerintah pada rakyat di dusun terpencil, itu. Ketika kami tanya, ada berapa banyak bantuan RKB ini se Indonesia..?. dapat jawaban, di tahun ini (2016) ada 100 paket RKB. Ada info dari pak Hanibal Hamidi (waktu itu direktur Dit Pelayanan Sosial Dasar Kemendesa), sampai saat ini masih ada sekitar 22 ribu desa di Indonesia ini yang belum punya PAUD. Saya coba hitung-hitung, kalau dari 22 ribu desa itu saja (belum desa-desa yang lain) dibutuhkan rata-rata 10 PAUD, maka masih dibutuhkan sekitar 220 ribu PAUD. Kalau semuanya harus dibantu oleh Negara, sementara kemampuan membantunya hanya 100 paket, maka dibutuhkan waktu sekitar 2.200 (Dua Ribu Dua Ratus) tahun seluruh anak usia dini di Indonesia ini terlayani di “sekolah” PAUD dengan sarana yang memadai. Iya, harus nunggu 2.200 (Dua Ribu Dua Ratus) tahun ! gegara nalar pendidikan kita terkelirumologikan ke “sekolah”.

Pada kesempatan silaturahmi presiden ke SPPQT sekaligus memperingati Hari Tani, pada tanggal 27 September 2017, saya sampaikan gagasan pendidikan untuk anak usia dini, yang mencoba berijtihad kembali pada substansi pendidikan dan tidak terkelirumologikan ke “sekolah”. Gerakan pencerdasan pada anak dini usia, tidak harus terjebak pada standar sarana-prasana, tetapi bertaruh pada kepengasuhan yang memerdekakan dan terintegrasi dengan konteks kehidupan. Kami menjatuhkan pilihan pada PAUD yang terintegrasi dengan Posyandu (Pospaud) yang disamping melibatkan seluruh orang tua hususnya ibu-ibu, juga para remaja kader Posyandu untuk belajar bersama meningkatkan kualitas kehidupan termasuk penanggulangan stunting dengan belajar gizi-nutrisi yang sumbernya melimpah di sekitar kita. Klaim saya, kalau konsep ini kita usung, tidak usah nunggu sampai ribuan tahun, dengan berkelakar, saya bilang, “tahun depan sebelum Lebaran Haji, juga sudah kelar”. Buku cover hijau yang saya tenteng “PAUD Komunitas berbasis Desa” karya Arif Hidayat, Alfian Hasan, Isnain Ramadlan dkk (Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah) yang diedit oleh wartawan senior Opung Raymond Toruan itu, juga sudah saya serahkan ke ibu Negara, ibu Iriana Jokowi.


Kesehatan

Sebagaimana Pendidikan, Kesehatan pun sudah terkelirumologikan dengan Pengobatan. Kata kesehatan pun sering diikuti dengan kata “gratis”, karena terkait langsung dengan ongkos pengobatan yang harus ditanggung oleh Negara. Info dari sohib kita, DR. Dr. Budi “jamban” Laksono, karena sangat kurangnya perhatian kita akan pentingnya pencegahan yang musti diawali dengan kesadaran mengisolasi tinja yang mengandung milyaran kuman pathogen seperti salmonella thypi penyebab tipus, diare, maupun hepatitis, pemerintah harus mengeluarkan kocekya sampai sekitar 60 T per tahun. BPJS pun jebol.

Sampai hari ini, kita masih menyisakan problem besar, konon masih ada sekitar 20 juta rumah yang tidak punya jamban. Saya dengar, kementerian PUPR tahun lalu hanya sanggup membangun sekitar 64 ribu unit jamban dari 20 juta jamban yang semestinnya dibutuhkan bangsa ini, atau dibutuhkan waktu 300 tahun lebih untuk benar-benar menjadi Open Defecation Free (ODF).

Kalau saja kita mau menaruh perhatian besar pada pencegahan dengan membangun 20 juta jamban, taruh dengan subsidi biaya 1 juta per unit, maka, hanya butuh angka 20 T (1/3 dari 60 T, ongkos pengobatan) dan itupun hanya sekali (tidak tiap tahun). Apalagi kalau langsung menggencarkan gerakan penyadaran pada seluruh rakyat akan pentingnya mengisolasi tinja ini melalui musyawarah di masing-masing desa, kualitas jamban akan bisa dinaikkan atau subsidi Negara bisa diturunkan, atau bahkan menggantikan subsidi dari Negara. Sebagaimana pengalaman kita mengorganisir masyarakat desa, mereka (yang berkecukupan) pasti akan bisa mengalokasikan sedekah untuk tetangganya yang berkekurangan, karena toh husus problem jamban ini, akan berdampak juga pada mereka yang selama ini berkecukupan bahkan memiliki banyak closet yg mahal pula, karena lalat-lalat tidak akan pernah pilih kasih, siapapun mereka dan berkeyakinan atau beratribut apapun mereka.

Kalau saja di satu kampung yang terdiri dari seratus rumah, masih ada 10 rumah yang belum berjamban, lalu kebutuhan pembuatan jamban sangat sederhana untuk masing-masing rumah Rp 1 juta, maka satu kampung itu hanya butuh uang Rp 10 juta. Kalau uang itu ditanggung bersama 90 keluarga mampu, maka masing-masing keluarga juga hanya terkena 100 ribu perak, se kampung sudah bisa ODF, seluruh keluarga sudah aman dari ancaman milyaran kuman pathogen seperti salmonella thypi penyebab tipus, diare, maupun hepatitis, itu.

Saya yakin dg kekuatan kita yg berkebudayaan, musyawarah, gotong-royong, dan tolong-menolong, problem serius bangsa kita yg seolah-olah sampai lebaran kuda tidak dapat dipecahkan bahkan harus butuh waktu ratusan tahun, menggunakan pendekatan ini (musyawarah dan gotong-royong), sebagaimana pengembangan PAUD Holistik Integratif, tahun depan sebelum lebaran haji jg sdh bisa kelar.

Inilah keniscayaan gerakan perubahan yg hrs bertaruh pada komunitas (betting on the commune/qoum) dan bukan bertaruh pd yg kuat (betting on the strong) termasuk bertaruh pada negara (pemerintah). Ubah paradigm masyarakat dari “Pengobatan” ke “Penyadaran dan Pencegahan”.

Pemberantasan Korupsi

Pasti kita semua merasakan, bahwa kebanyakan masyarakat kita, ketika mendengar kata KPK, selalu mengesankan bahwa KPK itu yang menangkap dan menindak para pelaku tindak pidana korupsi (koruptor). Banyak yang tidak tahu, bahwa di KPK juga ada kedeputian Pencegahan yang kedudukannya sejajar dengan kedeputian Penindakan. Bahkan gedung lama KPK saat ini praktis hanya untuk aktifitas pencegahan selain penjara.

Bermula dari obrolan ringan dengan pak Sujanarko (Kokok) ketika bareng ngisi acara KPK di kabupaten Pandeglang dan Lebak Banten dilanjut di Gd Merah Putih (Gedung KPK baru) plus Kang Nanang Farid Syam dan Luqman Jambi, oleh pak Kokok dkk. telah digagas sejak tahun 2017 yang lalu, Sertifikasi Profesi Penyuluh Anti Korupsi untuk pegiat anti korupsi dan pemberdayaan desa.

Bagi saya, gagasan besar pak Kokok dkk. ini menrupakan solusi untuk negeri. Betapa tidak, selama ini sejak awal pemerintahan Jokowi-JK yang telah menggulirkan paradigma baru pembangunan yang tidak lagi memunggungi desa, berikut tersalurkannya 100 Triliun lebih Dana Desa, dirasa masih belum melaju cepat gerakan pemberdayaan desa yang bertaruh pada kebersamaan mudi/a (angkaatan kerja) desa hususnya dalam mengelola sumberdaya agraria. Alih-alih berjamaah dan kritis pada ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan penguasa serta menolak politik uang, pada ritual demokrasi lima tahunan, mereka nyaris terbagi habis pada kelompok-kelompok pendukung kontestan pemilu baik pemilu legislatif maupun pimpinan daerah dan presiden dan yang lebih memprihatinkan lagi justeru mendambakan “Serangan Fajar” !. Piye, jaal ?!
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita pun masih terasa berjalan di tempat saja. Nilai 0 untuk IPK terburuk dan 10 terbaik, nilai rapor IPK Indonesia masih 3,8 (masih dibawah 4 atau identik dengan nilai “E” alias tidak lulus untuk anak-anak kuliahan). Bandingkan dengan Negara tetangga Singapura yang rapor IPK-nya 8,2 (identik dengan nilai “A”).

Sudah ada ratusan T Dana Desa, bahkan sudah ada anjuran langsung dari Presiden agar memprioritaskan pembangunan 30 ribu embung sebagai infrastruktur dinamis menguatkan daya dukung sumberdaya alam dan pencegahan terjadinya bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan), tetap tidak tergubris oleh sebagian besar dari 75 ribuan desa se Indonesia. Semua pada takut berinisiatif dan berinovasi, padahal ada desa yang telah membangun embung dengan seabreg manfaat itu, dalam waktu 3 tahun sudah dapat dikembalikan bahkan oleh para pengunjung embung itu. Juga ada desa (sebut saja Panggungharjo dengan lurah legendarisnya Wahyudi Anggorohadi) yang karena berani dan kreatif mengelola potensi desanya, sekarang ini dapat berpendapatan belasan kali lipat dari dana desa.

Disisi lain, 35 ribu-an Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa (PD-PLD) telah diperbantukan pada desa, namun sepertinya masih sebatas "pembantu" kerja-kerja administratif sekretaris desa. Gagasan-gagasan inovatif yg mestinya muncul dan diterima oleh kepala desa dan jajarannya, terasa susah ditemui juga.

Untuk itulah, jihad-ijtihad akbarnya pak Kokok dkk. Sertifikasi Penyuluh Anti Korupsi bagi pegiat desa ini, sangat perlu dikembangkan dan disegerakan sehingga minimal per desa ada dua orang (laki-perempun) agar sekaligus berkontribusi pada perwujudan keadilan relasi kuasa laki-perempuan), serta berperan sebagai ficilitative internal organizer dan bukan instructive external trainer. Tugas utamanya menyemangati para mudi/muda (angkatan kerja) desa utk bersama-sama berproduksi mengelola sumberdaya agraria serta menggiatkan permusyawaratan intensif memunculkan nalar kritis warga atas ketidak-adilan, penyimpangan kekuasaan, bahkan kesewenang-wenangan.

Sepertinya pandangan KPK-pun terkelirumologikan ke Penindakan. Konon, di periode Agus ini, anggaran Pencegahan yang mendukung gerakan penyadaran juga anggaran TI turun drastis dibanding periode Samad, dari ratusan M menjadi puluhan M, saja. Yang saya tahu, Anti Corruption Learning Center (ACLC) Dikyanmas Kedeputian Pencegahan KPK yang dikomendani Bu Dinov yang mestinya punya gawe besar menyadarkan para mudi/a di seantero negeri ini melalui Sertifikasi Penyuluh Anti Korupsi, hanya ditangani oleh beberapa gelintir orang saja, sampai-sampai kita harapkan dapat backup dari Kemenaker dan Kemendesa, karena kita rencanakan Sertifikasi Kepenyuluhan Anti Korupsi bagi para pegiat di Desmigratif (Desa Migran Produktif) dan Pendamping Desa serta Pendamping Lokal Desa (PD/PLD).

Semoga kedepan, KPK dapat mendongkrak IPK sampai minimal 6 dan penguatan kembali pada Pencegahan seperti sudah dijanjikan oleh ketua baru terpilih Firli Dahuri bahwa Pencegahan is better?!

Salatiga, 24 September 2019
Bahruddin