Tiga belas tahun lalu, tahun 2006, tiga remaja putri menggugat ujian nasional. Para siswi SLTP Alternatif Qaryah (SLTPQT) Thayyibah ini mengikuti ujian nasional sebagai riset, kemudian menuliskan gagasan mereka dalam sebuah buku berjudul 'Lebih Asyik Tanpa UAN'. Judul yang menggambarkan kesimpulan riset mereka.

Sebulan sebelumnya, tiga siswi ini berdebat keras dengan teman-teman seangkatannya di SLTPQT. Mereka digugat teman-temannya sebab keputusan untuk mengikuti UAN. Padahal sebelumnya mereka, bersama para wali siswa dan pengelola sekolah alternatif itu, sudah sepakat untuk tidak mengikuti ujian nasional. Mereka juga sepakat untuk melanjutkan belajar ke jenjang selanjutnya dengan membuat SLTA-nya sendiri.

Namun ketiga siswi ini, Izza, Fina, dan Kana, memutuskan untuk mendaftar ujian nasional. Mereka menginginkan pengalaman baru, ingin mengalami sesuatu yang tampaknya jadi momok bagi anak-anak sekolah. Konsekuensinya, mereka bertiga harus menulis karya berupa riset atas ujian nasional yang mereka ikuti.


Selama sebulan berikutnya tiga siswi ini ngebut mengejar materi yang akan diujikan. Mereka menumpang di sekolah indukan. Maklum saja, selama tiga tahun belajar di sekolah alternatif mereka hanya mempelajari subjek-subjek yang diminati. Maka praktis selama sebulan itu mereka merangkum mata pelajaran selama tiga tahun hanya dalam waktu satu bulan. Bahkan untuk mengikuti ujian praktik pun mereka hanya belajar setengah jam sebelum ujian.

Mereka bertiga melalui proses instan tersebut dengan enjoy, tidak terbebani dan ditakuti bayangan apapun. Dan hasilnya mereka berhasil lulus dengan nilai memuaskan, bahkan jadi peringkat tertinggi di sekolah di mana mereka menumpang ujian. Itupun tak membuat mereka kegirangan, biasa saja. Berbeda dengan beberapa siswa yang mereka saksikan begitu paranoid saat hendak ujian, kuatir tidak lulus. Juga berbeda dengan tingkah laku aksi hura-hura berlebihan beberapa siswa saat dinyatakan lulus.

Setelah tuntas mengikuti UAN, tiga siswa ini berdiskusi tentang apa yang mereka amati selama berujian. Kemudian mereka menuangkan hasil pengamatannya dalam sebentuk tulisan yang mereka sebut sebagai disertasi. Setahun kemudian, disertasi tiga siswi SLTP ini diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta dengan judul 'Lebih Asyik Tanpa UAN' (2007). Beberapa bulan kemudian, Education Forum melamar tulisan dalam buku tersebut untuk dirangkum dalam satu esai, lalu diterbitkan bersama esai para tokoh pendidikan dalam buku 'Menggugat Ujian Nasional; Memperbaiki Kualitas Pendidikan' (2008).

Beberapa temuan tiga remaja putri ini cukup kritis dan realistis. Pertama, mereka melihat adanya kecenderungan membuat UAN sebagai penentu akhir hasil belajar yang menyeramkan. Banyak di antara siswa sekolah yang depresi jelang UAN. Proses belajar selama tiga tahun ditentukan oleh ujian dengan pilihan ganda selama beberapa puluh menit saja, dan itu menyeramkan.

Kedua, seakan-akan tujuan proses belajar selama tiga tahun adalah untuk mengikuti UAN, yang mana dengan lulus UAN maka siswa akan mendapatkan ijasah. Setelah mengikuti UAN dan mendapatkan ijasah, para siswa melupakan pelajaran yang sudah dipelajari. Selama sekolah, mereka tidak dibimbing untuk menggali potensi diri dan mengembangkannya.

Ketiga, adanya praktik kecurangan yang masif dan terstruktur. Mereka menyaksikan bagaimana para siswa membuat contekan, bahkan ada praktik pembagian kisi-kisi saat ujian, serta teknik-teknik tertentu agar bisa saling berbagi jawaban.

Keempat, pemborosan anggaran. Bahwa dalam praktik UAN dana banyak digelontorkan untuk hal-hal teknis yang sedianya bisa dipakai untuk hal penting lain. Saat itu UAN masih berbasis kertas, maka tiga siswi ini mengkritisi pemborosan kertas yang terjadi di seluruh Indonesia saat UAN. Belum lagi anggaran distribusi soal hingga anggaran untuk pengawas.

Kelima, mereka menyadari bahwa pihak yang berkepentingan terhadap UAN sebenarnya adalah pemerintah. Yakni untuk mengetahui tingkat pencapaian pendidikan, semacam survei pendidikan. Itupun dalam lingkup yang sangat sempit, yakni hanya mencakup mata pelajaran yang diujikan. Namun hal tersebut justru menjadi momok dan beban bagi para siswa dan guru di sekolah. Baik beban secara mental maupun beban teknis yang sangat menyibukkan.

Setidaknya lima hal tersebut realita yang bisa dikritisi tiga siswi tersebut. Tentu saja kritik terhadap UAN sudah dikemukakan oleh banyak pakar dan praktisi pendidikan. Wacana-wacana tentang penghapusan UAN, atau minimal minimalisasi fungsinya, selalu menjadi isu manis di setiap masa kementerian pendidikan. Namun realisasinya berjalan sangat lambat. Padahal isu ini sudah sangat tegas disuarakan oleh tiga siswi remaja, tiga belas tahun yang lalu. Dengan riset sederhananya, mereka sudah berani menyimpulkan bahwa proses belajar memang lebih asyik tanpa UAN.

Tegal, 14 Desember 2019