Catatan Obrolan Pendidikan KBQT #3

Hari Pendidikan Nasional tahun ini cukup 'istimewa', sebab kita berada dalam masa wabah yang mengharuskan sistem pendidikan nasional beradaptasi. Ujian nasional ditiadakan, belajar intensif di rumah bersama keluarga, pemetaan fasilitas belajar sesuai realita, pemanfaatan teknologi informasi, adalah beberapa adaptasi logis yang sudah kita lakukan.

Masyarakat makin tersadarkan tentang vitalitas desa dan keluarga sebagai entitas terkecil serta terkokoh bagi kehidupannya. Juga makin tersadar betapa pentingnya kedaulatan sosial atas praktik pendidikan sehari-hari.

Maka, masa wabah ini kita harap bisa menjadi momen perubahan bagi pendidikan nasional ke arah yang lebih baik. Inilah tema yang dibincangkan dalam Obrolan Pendidikan KBQT ke-3, tepat di Hari Pendidikan Nasional, Sabtu 2 Mei 2020. Obrolan dipantik oleh Alfian Hasan, pendamping belajar di Sanggar Pamongan Karanganyar.




Dalam kesempatan ini, Alfian berkisah tentang pengalaman pendampingannya di Sanggar Pamongan serta kegiatan-kegiatan kreatifnya bersama anak-anak di sana. Sejak 2010, ia menginisiasi lahirnya sanggar ini untuk mendampingi anak-anak di lingkungannya di luar jam sekolah, agar tetap bisa berkarya dan bergembira. Serta menemani mereka mengenal diri dan lingkungan desanya.

Empat belas tahun lalu, Alfian menulis sebuah buku hasil penelitian di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, berjudul ‘Desaku Sekolahku’ yang menggambarkan bagaimana desain ideal ruang belajar semestinya memanfaatkan kondisi desa. Di masa wabah ini, agaknya ide nan ideal tentang ‘Desaku Sekolahku’ sangat mungkin terwujud dengan adanya berbagai pembatasan.

Masyarakat luas juga ‘terpaksa’ harus menangani pendidikan anak-anaknya di rumah secara langsung, meskipun masih dengan gaya belajar ala sekolahan. Namun setidaknya mulai ada pukulan keinsafan perlahan, bahwa pendidikan bukanlah tentang gedung-gedung sekolah bahkan mata-mata pelajaran. Bahwa pendidikan bukan tentang bagaimana anak berangkat pagi pulang sore dan setor nilai ujian, melainkan proses tumbuh bersama dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Empat belas tahun setelah penulisan buku tersebut, Alfian kembali mengangkat tema ‘Desaku Sekolahku’ sebagai tawaran solusi bagi  pendidikan nasional pasca-wabah Covid-19. Di dalam konsep ini, rumah-rumah dan keluarga menjadi ruang belajar interaktif yang saling terhubung dengan program pendidikan sekolah. Sedangkan sekolah-sekolah lebih realistis dan terbuka serta lebih tepat guna bagi masyarakat.

Lalu apa yang ditawarkan konsep ‘Desaku Sekolahku’ di masa wabah ini? Tentu dimulai dari obyek belajar yang betul-betul dibutuhkan anak secara mendasar dalam kehidupan nyatanya. Semisal menjaga kesehatan, kebersihan, hingga mengupayakan bahan pangan di kebun atau pekarangan.

“Kadang-kadang sekolah mengesampingkan apa yang sebenarnya dibutuhkan anak, tentang bagaimana menyikapi dirinya sendiri, keluarga, lingkungan, dan pergaulannya. Sehingga dengan alasan bersekolah, anak ‘skip’ dari semua hal penting itu,” tutur Alfian.

Dalam prosesnya, orang tua harus terlibat langsung sebagai partner belajar bagi anak, bukan instruktur atau sipir yang sekedar mengawasi anak agar menggarap PR. Melainkan sebagai teman diskusi serta belajar dan berkarya bersama. Sayangnya, untuk saat ini kebanyakan orang tua memang belum bisa memilah antara materi akademis dengan hal-hal yang penting dipelajari oleh anak.



Salah satu peserta diskusi, Ayu, menyatakan bahwa struktur organisasi profesional dalam masyarakat ke depan akan lebih ‘flat’. Termasuk dalam institusi pendidikan secara umum. Maka kecakapan yang perlu dikembangkan dalam diri anak di masa depan adalah bagaimana berpikir kritis dan mengenal potensi serta kemampuan diri. Selain belajar menanam, kata Ayu, dalam masa pandemi ini anak-anak juga bisa lebih intensif belajar Bahasa Inggris sebagai bekal berkomunikasi secara global, juga belajar mempererat hubungan sosial di tengah masyarakat.

Namun ada hal yang lebih penting dan dibutuhkan anak dari sekedar cakap berbahasa Inggris, kata Pak Din menanggapi, yakni belajar untuk aktif dan kreatif dalam konteks kehidupan masing-masing anak, living context based education. Misalnya anak bisa lebih intensif membantu kegiatan orang tuanya dalam rangka magang atau belajar, sebagai satu metode pembelajaran berbasis kehidupan sebagaimana disebut John Dewey bahwa ‘education is not preparation for life, education is life itself’. Pak Din juga menyatakan bahwa masa pandemi ini adalah momentum hijrahnya pendidikan nasional untuk kembali ke jalur yang benar, sebab sudah dimaklumi bersama bahwa konsep persekolahan sebenarnya sudah sangatlah usang.

"Selama 'belajar di rumah', orang tua juga tidak harus melulu mengajari. Yang terpenting adalah bagaimana menciptakan suasana dialogis dengan anak," katanya.


Isnaen, peserta lain, mengenang betapa gembiranya tidak sekolah di masa lalu, tidak seperti tidak-sekolahnya anak sekarang yang justru dibebani PR. Momen ‘belajar di rumah’ saat ini, baginya, adalah kesempatan emas untuk mewujudkan konsep ‘Desaku Sekolahku’. Yakni bagaimana agar sekolah-sekolah bisa lebih membumi, tidak memunggungi realita desa, serta tentu saja agar praktik ‘belajar di rumah’ tidak lepas dari konteks desa.

Hasan sepakat, bahkan menyebut bahwa momen ini adalah momen kemenangan bagi pendidikan alternatif. Ia melihat bagaimana sejak diberlakukannya ‘belajar di rumah’, anak-anak dampingannya di Rumah Belajar Ilalang bisa lebih ‘aware’ terhadap pekerjaan orang tua masing-masing. Bahkan bangga dan tidak malu mengunggah foto maupun videonya ke medsos. Ia berujar, mustinya kebijakan ‘belajar di rumah’ tidak separo-separo, harus total ditangani orang tua dan komunitas belajar.

Sebagai penutup diskusi, Pak Din mengingatkan agar di masa pandemi ini untuk melakukan gerakan yang bermanfaat, terutama terkait pendidikan berbasis komunitas masyarakat. Konsep ‘Desaku Sekolahku’ ini juga akan segera dipresentasikan di hadapan dirjen dan menteri pendidikan dalam waktu dekat. []

*Catatan ini merupakan reportase Obrolan Pendidikan #3 para pegiat Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, dengan tema 'Desaku Sekolahku’, melalui aplikasi daring ZOOM, Sabtu 2 Mei 2020, pukul 20.30-22.00 WIB. Reportase ini ditulis oleh Zia Ul Haq. Rekaman obrolan bisa disimak di kanal youtube berikut ini;