Oleh: Muhamad Muslih*


Namanya Afi, anak pertamaku. Sekarang kelas 7 Pendidikan Kesetaraan SMP di Komunitas Belajar Qoryah Thoyibah (KBQT) Kalibening, Salatiga asuhan Pak Bahrudin. Sejak SD, prestasi akademis Afi rata-rata saja dengan Nilai UN 22. Namun yang menonjol pada dirinya adalah daya kreatifnya yang lebih dominan. Dalam pelajaran Seni Budaya dan Ketrampilan (SBK) selalu muncul ide-ide segar yang sering menjadi rujukan teman-temannya untuk menciptakan suatu karya.  Pernah membuat piala yang disusun dari botol-botol plastik, ada pula pesawat terbang dengan bahan botol kecap dari plastik, robot-robotan dari bekas kaleng cat, lampu kapal dari bolam, dll. Itu semua murni idenya, artinya saya sebagai orang tua tak pernah sedikit pun memberi arahan dan masukan pada idenya. Bahkan pada akhir tahun pelajaran anakku sempat dinominasikan sebagai pelajar paling kreatif di sekolahnya. Mata Pelajaran yang dia sukai adalah IPS dan Bahasa Indonesia. Sedang yang paling dia rasakan sulit adalah Matematika.


Setelah pengumuman kelulusan, aku bertanya kemana akan melanjutkan sekolah. Dia menjawab ke Qoryah Thoyibah (QT), Salatiga. Memang sejak kelas 2 SD, anakku sudah sedikit tahu tentang sekolah itu dari kaset video yang kudapat dari Pak Bahruddin. Kebetulan penulis pernah mengadakan penelitian di QT dalam rangka tugas mata kuliah S-2.  Kaset video yang sering ditonton adalah kreasi anak-anak sekolah tersebut dalam lagu dolanan berbahasa Jawa dengan judul “Kidang Talun”. Selain itu juga hal ihwal pembelajaran unik di sekolah QT yang diliput oleh media televisi juga didokumentasikan dalam kaset video yang lain. Selain itu setelah lancar membaca buku dan menjadikannya  sebagai hobi anakku juga membaca novel-novel yang dibuat oleh anak-anak QT, terutama yang diterbitkan oleh LKIS Jogjakarta. Berawal dari itulah anakku mengenal keberadaan QT.  Sehingga tidak mengherankan kalau jawaban yang meluncur atas pertanyaan ke mana sekolahnya adalah sekolah QT.


Namun yang pusing justru aku, bapaknya. Meskipun secara teori penulis tahu bahwa sekolah model home schooling ala QT baik, namun untuk memasukkan anak ke sana aku kurang berani. Suatu hal yang dilematis antara keinginan untuk mendapatkan pendidikan terbaik bagi anak dengan masa depan yang bakal di hadapinya. Bagaimana tidak? Anak itu sudah suka dengan model pembelajaran yang bebas dan santai sementara dengan menyekolahkan di QT, berarti anakku hanya akan mendapat ijazah persamaan Paket B (setara SMP) pada akhirnya nanti. Sesuatu yang belum pernah ada dalam tradisi keluargaku. “Mau jadi apa anak ini nanti?” begitulah kira-kira pertanyaan yang banyak bermunculan dalam hati.  Mungkin juga rasa khawatir ini muncul dari latar belakang pendidikanku yang - katakanlah selalu sukses, bahkan mendapat kesempatan beasiswa S-2. Demikian juga prestasi adiknya Afi. Dia selalu menempati rangking 3 besar sejak kelas 1 SD hingga sekarang.


Untuk menjajagi kemantapan hatinya, kuputuskan untuk mengajak dia melihat keadaan sebenarnya sekolah KBQT. Pergilah kami ke Salatiga. Bangunan bertingkat belum jadi yang sering disebut sebagai RC (resource centre) itu menjadi sumber belajar di KBQT. Dengan deretan buku di dalamnya benar-benar menjadi sorga bagi anakku yang memang suka membaca. Juga akses internet selama 24 jam membuat orang yang haus pengetahuan akan terpuaskan. Anak-anak belajar di sana tanpa perlu berseragam duduk melingkar seadanya mendiskusikan pembelajaran dan proyek yang sedang mereka buat. Apa yang dilihat oleh anakku itu membuat dirinya semakin mantap untuk bersekolah di sini. Namun aku belum berani menganggukkan kepala sebagai tanda setuju atas permintaan anakku. Sampai di rumah aku mendiskusikan ihwal pendidikan si sulung bersama istriku. Setelah lama berbicara, justru istriku yang berani mengambil keputusan. Bagi dia yang terpenting dalam pendidikan adalah terbentuknya kedewasaan, karakter yang baik dan mapan. “Biarlah anak kita hanya mendapat paket B, namun itu lebih berarti bila ia bisa lebih dewasa dan memiliki karakter yang kuat,” kata istriku. Dengan kata akhir itulah kami mantap memasukkan Afi di KBQT .


Afi (bergitar) bersama teman-teman kelasnya di KBQT.



Setelah satu semester berlalu, bahkan hampir satu tahun menetap di KBQT tibalah masanya aku mengevaluasi anakku. Benar selama lebih dari enam bulan anakku belajar model home schooling di KBQT, aku  menjumpai hal-hal besar yang secara kejiwaan sangat berbeda dari saat ia masih bersama kami di rumah. Dari cara bicaranya aku jadi tahu bahwa anakku terlihat lebih dewasa dari teman-teman susianya. Cara bicaranya teratur dengan logika yang matang, artinya semuanya ada alasannya. Dia terlihat percaya diri, namun tidak sombong. Secara emosi, dia bisa ngemong (take care) dengan adiknya di rumah. Bahkan, saat tidak punya uang pun dia tidak merajuk seperti kebanyakan anak, namun dengan caranya sendiri dia minta dengan sopan pada ibunya. Dari segi kemandirian jelas paling terlihat, dia jadi terbiasa mencuci piring, gelas, dan pakaiannya sendiri. Bahkan pas pulang ke rumah, dia suka membuatkan nasi goreng untuk adik-adiknya. Solat jamaah biasa ia lakukan, kecuali subuh yang sering tertinggal. Untuk bacaan Qur’annya sudah lebih baik dibanding waktu masih di rumah. Urusan mengajinya masih biasa, karena memang masih kelas awal. Dan yang membuatku tak habis pikir adalah saat membuka - buka file laptopnya, kutemukan lebih dari dua puluh cerpen karyanya. “Lho, kapan anak ini mulai suka nulis cerpen?” pikirku. Di rumah, dia senangnya membaca komik Naruto.


Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, segera kuajak ngobrol ringan saat Afi liburan di rumah. Tentang kemandirian, katanya, ia dapatkan dari kebiasaan mencuci piring, gelas, dan pakaiannya sendiri serta kebiasaan menuliskan target mandiri setiap Senin. Di KBQT setiap anak diwajibkan membuat rencana dan target mingguan selain rencana kelas. Semua anak setiap Senin berkumpul dan menuliskan apa yang akan mereka pelajari serta obyek hasilnya berupa apa. Rencana-rencana itu ditulis tangan, selain miliknya sendiri semua siswa juga harus menyalin target teman-temannya. Misal ada yang ingin belajar mengedit foto, maka dia tuliskan dalam bukunya. Demikian juga mereka yang menargetkan menghafalkan sebuah surat dari Al Qur’an, ia juga wajib menuliskannya. Dengan mengetahui target pribadi teman-temannya, mereka akan saling membantu menyemangati dan mengingatkan target. Ini yang diistilahkan oleh anakku sebagai kerja sama. Menurut dia, hal yang paling disukai selama belajar di KBQT adalah kerjasama. Dengan kerja sama mikirnya cepat, kata anakku saat ngobrol itu.


Sedangkan unsur percaya dirinya, terutama terbentuk setelah mengikuti latihan dasar teater selama tiga hari. Dalam latihan itu peserta diwajibkan mengenakan pakaian rombeng dan berjalan-jalan di sepanjang Pasar Salatiga. Ketika orang menganggap dirinya orang gila, dan dia tak peduli terhadap bisik-bisik orang pasar tentang dirinya, maka peserta itu dianggap lulus.  “Wah, ini hebat” pikirku. Setelah itu, ia banyak terlibat dalam latihan teater sehingga muncul rasa percaya dirinya saat bicara.


Keterampilan menulis dia peroleh lewat proyek pembuatan buletin Ilalang yang terbit tiap bulan. Bersama-sama dengan kakak kelasnya, anak-anak kelas VII belajar menulis dalam buletin. Sebelumnya telah diadakan latihan jurnalistik selama 3 hari. Setiap bulan selain ada penerbitan buletin ada pula acara gelar karya (GK). Dengan GK, seluruh kreasi siswa tersalurkan. Ada pembacaan puisi, cerpen, lagu, musik perkusi, drama, tari, pemutaran video bikinan sendiri, dll pada acara tersebut.  Ketika Afi baru 2 minggu sekolah di sana, dia telah mampu membuat sebuah cerita misteri yang dibacakan saat GK.


Selain itu di KBQT setiap anak wajib memiliki dan mengisi buku lumbung ide. Mereka diwajibkan untuk mengeksplorasi masalah kehidupan yang mereka temui lewat pengamatan maupun dari bacaan menjadi berbagai ide beserta pemecahan masalahnya. Ide mereka berbagai macam, seperti ide membuat kincir angin di lantai 3 sekolah, ide menghipnotis koruptor agar tidak korup, dll. Kadang-kadang ide-ide itu aneh dan lucu. Tapi itulah latihan mendaya gunakan daya kreatif anak. Apapun bisa dituliskan dalam buku ide, yang penting semua memiliki alasan yang jelas. Nah, ide-ide itu lalu diseleksi oleh Tim Ide untuk ditentukan sebagai ide terbaik yang dibacakan di depan teman-temannya tiap upacara hari Senin. Jangan bayangkan upacaranya seperti di sekolah biasa. Upacara Senin dilakukan di gedung RC, dengan berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya lalu pembacaan ide terbaik dan beberapa pengarahan dari Pak Bahruddin. Setelah itu diskusi tentang rencana kegiatan pembelajaran seminggu, membuat target pribadi, target kelas, dll.


Untuk urusan mengaji, aku percayakan anakku pada pemilik kos, Pak Asroi,  yang dengan telaten selalu mengajari membaca Al Qur’an setiap habis magrib. Sedang untuk pengetahuan agama Islam lainnya, seperti tauhid, fiqih, dan akhlaq, aku titipkan di Madrasah Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin, Kalibening, Salatiga yang hanya berjarak 200 meter dari KBQT. Pondok itu diasuh oleh KH Abda’, kakak Pak Bahruddin, pengasuh KBQT.


Itulah beberapa hal yang sempat dibicarakan anakku saat pulang liburan ke rumah. Memang belum bisa menjadi gambaran utuh akan kondisi pembelajaran yang dia alami karena masih terlalu dini. Namun setidaknya secara signifikan telah sedikit terpotret mengenai hasil yang bakal dicapai oleh seorang yang belajar ala home schooling di sana. Sebuah pendidikan alternatif yang murah meriah namun penuh dengan makna.  Seperti dikatakan oleh salah satu pengasuh KBQT, Sujono Samba dalam buku Lebih Baik Tidak Sekolah(2007: 21), “Sistem persekolahan di negeri ini baru bisa menghasilkan ‘orang-orang lemah’. Ciri-ciri orang lemah diantaranya: rendah daya inisiatif dan kreatifitasnya, rendah rasa percaya diri, tidak berdaya, dan pada ujungnya tidak sanggup mandiri.” Ternyata home schooling ala KBQT bisa menjadi pendidikan alternatif yang cukup signifikan dalam pendidikan karakter. Semoga bisa menambah pengetahuan kita.


Penulis adalah praktisi pendidikan, S-2 Pendidikan Bahasa Inggris, UPI Bandung. Menjadi guru di MA Maarif Borobudur, Jl. Syailendra Raya, Borobudur, Magelang.