Oleh: Ahmad Darojat Jumadil Kubro (Pendamping Belajar)

Aku mendengar bahwa adik-adik yang selama beberapa bulan ini sering kubantu belajar guna menghadapi ujian MI akan bergabung bersama beberapa anak lain untuk mendirikan sekolah baru. Mereka bersama orang tua mereka hendak melaksanakan pembelajaran di di desa sendiri namun dengan semangat “tidak akan kalah dengan SMP 1”. Kobaran semangat mereka itu terasa sekali, hingga aku yang hanya mendengar kabarnya sajapun ikut terbakar rasanya. Dan tiba-tiba saja aku sangat ingin bergabung menyumbangkan apa yang aku punya untuk mereka. Belum sempat menyatakan keinginanku itu, ternyata aku ditawari untuk bergabung bersama mereka. Gayung bersambut, maka masuklah aku bersama mereka tepat di hari doa bersama untuk memulai kegiatan di sekolah baru ini, Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah.

Kurikulum yang kami pakai adalah kurikulum negara yang diberlakukan di hari itu. Strategi yang kami jalankan adalah efektifitas waktu belajar. Di mana kami punya kelebihan waktu, karena umumnya siswa SMP berangkat jam 6 pagi namun baru bisa memulai proses pembelajaran jam 7 karena harus melakukan perjalanan ke kota. Sedangkan kami sudah bisa memulai belajar tepat pukul 6 pagi karena begitu kami berangkat sama di jam 6, kami sudah langsung tiba di kelas. Pada kelebihan jam itu kami manfaatkan setiap harinya untuk belajar Bahasa Inggris dan Matematika. Ini dipilih karena dirasa bahwa materi Ujian Akhir yang paling sulit adalah dua mata pelajaran itu.

Aku ditunjuk menjadi wali kelas bagi adik-adikku. Aku senang namun kecewa. Karena aku tahu persis kemampuanku tidak menyeluruh di semua bidang. Sangat disayangkan potensi adik-adik jika hanya akan sepertiku. Dan aku yakin kalau seandainya Pak Din meminta teman beliau yang lebih ahli pasti akan diiyakan. Tapi beliau tetap menghendaki akulah yang menjadi wali kelas. Beliau mengatakan bahwa yang dibutuhkan adik-adik adalah orang yang mau belajar bersama mereka. Dan benar saja, begitu proses pembelajaran mulai bergulir, aku ikut asyik belajar bersama mereka. Terutama pada materi-materi yang memang aku buta atau tidak menguasainya. Ketika guru lain mengajarkan materi itu, aku turut hadir untuk ikut belajar. Hal itu kualami sampai seterusnya bersama mereka.

Terbuka dan Musyawarah

Semangat menyamai SMP 1 terus menjadi pendorongku untuk membagikan semua pengetahuan dan kemampuan yang kumiliki. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Ada fenomena yang tidak kuduga akan muncul. Ada salah satu adikku yang ternyata tetap tidak bisa Matematika juga. Padahal aku melakukan pendampingan langsung satu-satu. Namun nyaris tidak ada perkembangan. Bahkan semakin hari dia semakin terlihat tidak nyaman di kelas Matematika. Sampai akhirnya di tidur di kelas setiap kali pelajaran Matematika. 

Pada rapat rutin mingguan guru, aku mengutarakan keresahanku itu. Aku juga menyampaikan dugaanku bahwa seandainya dia ini tetap diajari Matematika, sampai kapanpun boleh jadi dia tetap tidak akan bisa. Di luar dugaan, Pak Din justru kemudian memaparkan teori Kecerdasan Dasar Manusia. Karena keterbatasan kemampuan kami, kami kemudian hanya menduga-duga bahwa adikku yang satu itu memang dikaruniai oleh Allah kecerdasan yang bukan di bidang Matematika. Lalu aku meminta izin kepada forum untuk diperbolehkan memberi kebebasan kepadanya di jam Matematika untuk tidak mengikuti pertemuan, namun boleh belajar di luar kelas materi apapun yang dia suka. Izin pun diberikan. Maka setiap kali pelajaran Matematika, dia tidak lagi tidur di kelas melainkan bermain komputer dan alat musik.

Peristiwa pertama menjadi pelajaran bahwa permasalahan adalah hal yang niscaya. Terbuka dalam mengemukakan, kemudian musyawarah untuk memecahkan, keduanya bisa mengantarkan kepada perbaikan. Maka setiap kali permasalahan baru muncul, tidak segan-segan kami saling mengemukakan. Tidak hanya di level pendamping namun juga di level kelas. Siswa memiliki hak yang sama untuk mengemukakan apa yang menjadi pikiran ataupun permasalahan mereka untuk kemudian dimusyawarahkan.

Tidak terasa, fleksibilitas yang disertai mekanisme musyawarah itu membawa kami keluar dari ‘ambisi untuk menyamai SMP 1’ kepada upaya-upaya untuk memujudkan pendidikan yang ideal dalam harmoni bagi adik-adik kami. Pola-pola pembelajaran mulai berubah. Penyusunan jadwal pelajaran berikut materi belajar perlahan berpindah. Dari yang semula dipilihkan dan disiapkan oleh pendamping, jadi dipilih oleh adik-adik. Para pendamping tinggal membantu menyiapkan dan mendampingi proses. Termasuk pola evaluasi, adik-adik memiliki mekanisme sendiri dalam bentuk musyawarah kelas.

Pak Ahmad bersama warga belajar

Masalah Adalah Senjata

UN menjadi permasalahan yang kami hadapi di tahun ketiga. Di sekolah-sekolah telah ramai persiapan untuk itu, kamipun bersiap sedia. Musyawarah adalah langkah awal. Semua unsur sekolah hadir, mulai siswa, pendamping, dan orang tua. Panjang pembahasan UN di tingkat kami. Tidak disangka, para murid memutuskan untuk tidak mengikuti UN. Meski berat, namun karena kami menyadari betul bahwa di tangan merekalah jalan mereka, maka kami mengiyakan. Karena di balik keputusan itu, mereka sekaligus sudah merencanakan akan mendirikan SMA mereka sendiri.

Kami segera mengambil start tingkat SMA. Seluruh proses pembelajaran secara penuh berada di tangan adik-adik kami. Pendamping murni hanya sebagai penggembira, karena seluruh “ubo-rampe” sudah disiapkan oleh adik-adik, dari hal yang bersifat akademis hingga yang bersifat fisik. Karya-karya mulai bermunculan, kemahiran pada bidang tertentu semakin terlihat pada masing-masing personal kelas. Masih ditambah dengan bergabungnya beberapa anak dari luar daerah yang membawa warna baru. Sampai akhirnya dilahirkanlah Gelar Karya untuk mempresentasikan hasil-hasil kreasi mereka.

Hal yang paling dapat menggerakkan kelas adalah masalah. Setiap kali ada suatu perkara yang kami rasa perlu untuk dipecahkan, kami segera saja berkumpul untuk melakukan pembahasan. Dimulai dari identifikasi masalah, membuat opsi-opsi pemecahan, merencanakan skenario tindakan, sampai mengeksekusinya. Namun ketika tidak ada permasalahan, kelas menjadi dingin. Kami para pendamping tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadirkan masalah nyata untuk dipecahkan. Sesekali masalah itu kami angkat dalam bentuk wacana, namun reaksi yang muncul tidak seperti yang kami harapkan. Solusi kami saat itu adalah mencari orang-orang di luar desa yang dapat kami jadikan resource belajar. Baik berupa orang maupun organisasi. Sayangnya kami belum dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk bisa melakukan proses pembelajaran lebih lanjut.

Memberikan kepercayaan penuh kepada anak muda adalah hal yang akan membuat mereka berkembang pesat. Potensi generasi muda untuk mengambil kendali sungguh sangat besar. Kita orang-orang tua hanya perlu berupaya untuk mendampingi mereka berlatih membaca masalah, kemudian mengajak mereka terjun langsung kepada masalah itu sesering mungkin dan sebanyak mungkin. Tidak terkecuali jika masalah-masalah itu mengharuskan mereka untuk mempelajari seluk-beluknya sampai pada detail ilmiah. Hingga sampai pada waktunya, mereka bahkan tidak sadar bahwa mereka sudah tidak memerlukan kita lagi. Di saat kita meninggalkan mereka, mereka sudah lebih dari siap untuk melanjutkan estafet kehidupan dan pembelajaran.