Oleh: Rizka Indah Anggraini (Warga Belajar)
Sebelum menginjakkan kaki di tanah Salatiga yang dinginnya tidak masuk akal kala itu, saya adalah seorang murid sekolah formal yang didoktrin ini-itu mengenai pendidikan. Penuh larangan dan persaingan, harus ini harus itu, jangan ini jangan itu. Satu tahun terjebak dalam sistem pendidikan –yang jelas- membosankan dan penuh tekanan, saya kira hal yang lumrah terjadi di sekolah manapun di dunia ini. Ketidaksiapan untuk kembali ditekan adalah alasan saya menangis selama beberapa awal minggu resmi bergabung di QT.
Saya adalah tipe perempuan yang waktu itu susah berbaur dengan orang baru. Masuk ke QT di tingkat kelas dua SMP, tentu masih sangat belia untuk bisa memahami realita pendidikan di Indonesia. Awal pertanyaan tentang QT sebagai pendatang baru, "Kenapa begini? Bagaimana saya bisa bertahan untuk waktu yang tidak bisa diprediksi?"
Namun nyatanya, yang saya butuhkan sebenarnya adalah sebuah keberanian, dan QT mau mendampingi saya dalam memenuhi kebutuhan itu. Berjalan perlahan, mengikuti pola yang sudah diterapkan dan kemudian menyadari bahwa inilah dunia baru yang menyenangkan. Saya tidak harus takut dipanggil guru sebab sepatu hitam atau seragam saya basah akibat hujan semalam. Tidak harus pula berdiri di depan kelas karena lupa membawa buku pelajaran. Tidak mendapat omelan super panjang dari guru galak karena tidak mengerjakan PR. Dan pastinya, saya tidak harus mempelajari bidang yang sama sekali tidak saya sukai.
Anggi (paling kanan) bersama teman-teman KBQT |
Di QT, saya bergabung di kelas yang waktu itu hanya ada empat remaja. Tiga perempuan dan satu lelaki, lalu saya menjadi anggota kelima yang masih ikut berjalan ngalor-ngidul mencari kesibukan. Satu kelas hanya ada lima anak, sebuah fakta yang berlainan dari sekolah saya sebelumnya. Dulu, ketika menjadi siswa yang harus menatap papan tulis hitam selama sembilan jam sehari, saya nyaris tidak pernah mendapat kesempatan untuk sungguh belajar. Guru mencari jawaban yang benar, sementara jawaban saya salah dan otomatis hukuman berupa PR saya bertambah.
Sedangkan di QT saya menyadari bahwa yang dicari dari sebuah pelajaran adalah ‘kesalahan’, karena dari situlah akan ada diskusi mendalam yang kemudian bisa pantas untuk disebut ‘pelajaran’. Di sekolah pada umumnya, guru menambah beban PR tanpa memberi solusi cara pengerjaan yang sederhana agar murid yang tergolong ‘bodoh’ lantas mengerti, paham, kemudian bisa menjawab dengan benar. Di QT, kegagalan dan kesalahan seakan hal yang wajib. Kami harus salah untuk bisa belajar menjadi benar. Kami harus gagal untuk menjadi berhasil. Itu yang baru saya sadari setelah bertahun-tahun berendam di QT. Sebuah kesempatan untuk lebih mengenal diri sendiri muncul dari setiap kesalahan yang kami perbuat. Para pendamping tidak memberi teguran keras, hukuman maupun ancaman, melainkan menjadi sosok yang mengarahkan dengan segala sisi afeksi yang candu.
Saya dibebaskan kemana saja, ikut kelasnya siapa, belajar apa saja yang saya suka. Masih sangat segar di ingatan saya soal selalu membawa tabloid ke QT. Menentengnya kemana-mana dan menjadikannya hiburan di sela-sela kegiatan. Sekarang, coba sebutkan sekolah mana yang membolehkan siswanya membawa tabloid gosip ke sekolah? Tidak hanya itu, semua orang bebas mendengarkan musik. Terdengar sederhana tapi sangat berharga. Kebebasan-kebebasan kecil yang menjadi jalan saya mencari jati diri.
Saya tidak ingat jelas forum apa saja yang pernah saya ikuti. Di antara forum teater, film, tari, sampah, bahasa Inggris, vokal, hingga forum menulis, mungkin bidang-bidang itu yang pernah saya cicipi selama lima tahun di QT. Dari tingkat dua SMP hingga tamat SMA. Dari sekian banyak forum itu yang paling membekas adalah forum menulis. Entah kapan tepatnya saya tertarik dalam bidang kepenulisan, baik sastra maupun jurnalistik. Karena ketika saya mempelajari kedua hal itu di QT ada gairah yang tiba-tiba membuncah begitu saja. Saya hanya tahu bahwa: saya nyaman mempelajarinya, dan saya ingin suatu saat kebahagiaan saya didapat dari hal itu.
Ada sensasi menyenangkan ketika saya menulis puisi kecil-kecilan, cerpen, dan membagi ide-ide itu kepada teman sekelas. Ada getaran yang indah setiap kali mereka memberi apresiasi, dukungan, dan masukan. Lalu, lagi-lagi saya baru sadar, itulah yang seseorang butuhkan untuk berkembang. Manusia butuh pendengar untuk segala imajinasi yang sebelumnya tidak pernah tertangkap oleh kalimat. QT menjadi pendengar yang ikut menangkap imajinasi itu lalu mengolahnya bersama-sama menjadi sebuah karya yang elok dan harus diperjuangkan.
Itu yang saya suka dari QT. Sebuah rumah dan keluarga yang tidak akan mencerca ide dan gagasan, seusil dan sereceh apapun. QT menjadi penyangga, jembatan, dan segala hal yang dibutuhkan hingga seseorang bisa menyeberangi perdebatan tentang; “Apa yang sebenarnya saya inginkan?”
Katakanlah lima tahun menjadi keluarga QT, saya lebih banyak menceburkan diri di bidang menulis. Saya bergabung di Freedom Writers (FW), sekelompok remaja yang ide-idenya layak diperhitungkan dan dibagi untuk memicu semangat. Di FW, saya seperti mendapatkan vitamin bahwa hal-hal yang berkelebat di benak saya akibat terlalu banyak membaca memang harus dituangkan. Di Freedom Writers itu, untuk pertama kalinya saya merasa berhasil menjadi penulis karena bisa menerbitkan buku antologi cerpen bersama kawan-kawan. Buku kumpulan cerpen fiksi tentang perjuangan dengan berbagai tema yang membuat saya percaya, kalau mungkin keterampilan inilah yang akan saya bawa ke depannya.
Anggap saja kertas dan pena adalah sahabat setia yang akan selalu mendengarkan keluh-kesah dan segala khayalan. Dimulai dari hal-hal sederhana seperti menulis diari dan puisi. Segala rasa dan emosi bisa terungkap pada dunia dengan cara yang indah. Tidak menjadi sampah di otak yang hanya akan membuat pikiran menjadi kusut dan cenderung bertindak negatif. Menyimpan hal-hal yang positif di dalam otak dan hati, tentu hal itu juga akan berimbas pada kehidupan yang lebih positif.
Belakangan saya baru menyadari bahwa kegunaan dan fungsi diari sangatlah penting. Diari menjadi semacam kamera pengintai dan rekam jejak pejalanan hidup. Kita bisa melihat kilas balik bagaimana dulu dan sekarang, apa yang berubah, apa yang sudah tercapai, dan apa yang ditinggalkan demi satu yang difokuskan. Saya merasa bahwa menulis diari adalah sesuatu yang sebentar lagi akan punah jika tidak kembali dihidupkan. Dan sangat beruntung karena saya mulai membiasakan menulis diari sejak di QT.
Selain bidang sastra, saya juga tertarik dengan bidang jurnalistik. Dua hal itu saling berkesinambungan, karena keduanya adalah proses menuangkan sesuatu dalam bentuk tulisan. Hanya saja sastra adalah soal kebebasan, sementara jurnalistik adalah perkara yang tetap diawasi oleh aturan. Bergabung di E-La2ng, buletin bulanan QT, saya menemukan dimensi baru yang kemudian menjadi alasan saya memilih bidang komunikasi, khusususnya jurnalistik di bangku perkuliahan. Hmm, kata siapa anak QT tidak bisa kuliah?
Saya diberi hak untuk memutuskan apakah harus ikut ujian akhir dan mendaftar ke perguruan tinggi atau tidak. Sekali lagi, QT adalah jembatan yang kokoh dari daratan skill menuju daratan cita-cita. Apa yang saya pelajari di QT, ternyata membuahkan hasil yang terbilang membanggakan. Banyak dosen bertanya ketika saya masih menjadi mahasiswa baru, “Lulusan mana?”
Dengan mantap, saya menjawab, “Qoryah Thayyibah!”
Seiring berjalannya waktu, mereka lantas berkata, “Pantas saja bisa, karena dia dari Qoryah Thayyibah.”
Darimana pendapat itu berasal?
Dari saya yang terbiasa unjuk tangan untuk pengerjaan sebuah film, baik proyek mahasiswa maupun untuk keperluan mata kuliah. Meski hanya berdurasi pendek dan tidak akan bisa disandingkan dengan film-film hasil kreasi anak QT lainnya, setidaknya saya memiliki konsep dan prinsip saya sendiri. Dari saya yang banyak mendebat hasil presentasi sesama mahasiswa maupun dosen pengampu yang tidak sesuai dengan fakta, atau paling tidak sama dengan buku. Lalu orang-orang mulai mengenali saya sebagai kutu buku, seperti yang para keluarga QT tahu tentang saya.
Di QT, semua yang kami kerjakan hasil pikiran sendiri. Tidak ada yang namanya mencontek apalagi plagiat karya orang lain. Ternyata hal itu sangat berguna ketika saya dihadapkan oleh tugas-tugas kulah. Jangan sampai plagiat! Saya mengutamakan hasil bacaan yang mulai terasah semenjak bergabung di FW menjadi bahan presentasi dan tugas akhir.
Dan dari saya yang sekarang jadi lebih mudah bergaul dengan lingkungan sosial baru. QT menjadi beribu-ribu tangan yang mengajarkan saya untuk berani tampil dan bersuara. Tidak disangka, keberanian itu yang memaksa saya untuk mengambil program magang kuliah di salah satu koran daerah dari surat kabar nasional Jawa Pos. Mengandalkan keberanian saya yang dimulai dari bicara di depan kelas hingga di depan satu sekolahan, saya menjadi salah satu mahasiswa magang wartawan selama tiga bulan di Jawa Pos Radar Semarang. Mengandalkan keterampilan menulis saya hingga rupanya memang tulisan saya layak dipublikasikan. Itu artinya saya berhasil. Berhasil menulis dan menyuarakan keinginan saya.
Saya anggap sedang menghadapi kawan sendiri ketika berhadapan dengan orang baru. Mengingat serunya menjelaskan berbagai hal ketika upacaran dan Gelar Karya, semangatnya harus seperti itu. Berjuang di bidang kepenulisan seperti ketika saya bertahan untuk Freedom Writers dan E-La2ng. Andaikan ditanya, “Apa kegiatan yang sangat saya suka di QT?” maka tanpa ragu saya akan menjawab, “Banyak!”
Saya suka gaya upacara ala QT. Tidak berpanas-panasan di lapangan sebelum sarapan, tidak berdiri berjam-jam dengan pura-pura menjadi siswa yang baik dan penurut. Upacara versi QT adalah mengevaluasi apa yang sudah kami lakukan, apa yang akan kami lakukan, dan apa gagasan kami agar kehidupan ini bisa menjadi lebih baik. Menurut saya itu penting. Teman-teman akan mengingatkan target kami, memberi solusi dari kegiatan atau target yang belum terselesaikan sesuai ekspektasi, dan turut menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk merealisasikan sebuah gagasan.
Selain itu, juga ada kegiatan bulanan bernama Gelar Karya tiap akhir bulan. Di acara itu semua anak diberi waktu menunjukkan apa yang sudah ia pelajari dari produksi dalam satu bulan. Kepanitiaan Gelar Karya bergilir setiap kelas dengan konsep-konsep yang beragam. Dengan adanya Gelar Karya, kami perlahan menjadi manusia yang aktif. Kami memproduksi apapun sesuai bidang yang ditekuni. Saya pribadi banyak menampilkan karya-karya tulis berupa puisi, cerpen, maupun novel. Hanya beberapa tahun sebelum lulus dari QT, saya mencoba tampilkan tari modern karena ketertarikan saya terhadap K-Pop. Di Gelar Karya itu pula kami terbiasa menjadi Event Organizer yang pastinya sangat berharga ketika sudah mengembangkan diri di tempat lain.
Ada satu hal yang sederhana namun luar biasa penting dari kegiatan wajib upacara dan Gelar Karya di QT. Yaitu dukungan dan pesan dari Pak Din agar kami senantiasa menjadi manusia yang tidak pemalu, menjadi seseorang yang punya suara, dan sosok yang tak akan lelah berkarya. Karena itu adalah alasan terpenting untuk bersaing dengan cara sehat di dunia ini. Ada satu lagi kegiatan saat itu; Evaluasi. Yaitu sebuah catatan pribadi yang dulu diterapkan di kelas saya. Evaluasi berupa catatan hasil belajar kami dalam sehari, seminggu, dan sebulan tentang beberapa hal. Seperti contoh: buku bacaan, hapalan surat pendek, pengetahuan baru, karya, dan sebagainya.
Dari evaluasi semacam itu saya jadi tahu apa kekurangan saya dan apa yang harus saya kurangi agar semuanya imbang. Membidangi satu hal dengan sangat profesional memang penting, namun dengan adanya evaluasi tentang hal-hal umum, menjadikan kami tidak akan mati kutu apabila bertemu orang baru dengan kebiasaan dan budaya yang berbeda.
Kami jadi tahu cara bersikap dan yang pasti kami bisa berbaur dengan mudah karena memahami apa yang mereka bicarakan. Sederhananya, kita tidak akan menjadi pendiam di suatu tempat dengan pembahasan-pembahasan yang acak dan asing, karena di QT, kami terbiasa untuk tahu ‘segalanya’. Kami diberi kesempatan untuk menjajal semua bidang sebelum akhirnya memutuskan apa yang sebenarnya mampu kami lakukan dan akan kami perjuangkan hingga akhir hayat nanti.
Singkat kata, QT adalah rumah yang menyenangkan. Damai, penuh kasih sayang dan kedamaian. Tempat saya dibesarkan dan dibimbing hingga menjadi ‘orang’, tempat saya bisa merasakan betapa pentingnya persahabatan dan kekeluargaan. Masa lalu dan masa sekarang yang akan menemani saya menuju masa depan.
0 Comments