Oleh: Hana Ruhul Qisthi (Warga Belajar) 

Proses di KBQT adalah proses belajar yang memanusiakan manusia. Kami tidak dibebani nilai dalam orientasi belajar maupun pekerjaan rumah, melainkan kemanfaatan. Sehingga tak kutemui ada ‘anak bodoh’ di sini. Karena kami mendapatkan kepercayaan bahwa setiap diri memiliki kepintaran dan potensi masing-masing sesuai bidangnya.

Di tempat ini seperti ladang kebebasan untuk mengartikulasikan diri, berpendapat, belajar, bermain sesuai apa yang kami inginkan. Sehingga kata belajar tak terbatas oleh mata pelajaran dan kurikulum. Tidak kutemui gerbang pemisah antara kami dan warga desa. Tidak ada aturan harus berada di balik tembok saat belajar dan berkarya. Hingga sungai, sawah, mushola, kuburan, jalan raya, dan pasar menjadi tempat kami belajar.

Hana dalam acara Gelar Karya


Kami tidak dipatok kurikulum sebagaimana ada di sekolah-sekolah. Kami bisa mencipta kurikulum sendiri dengan diberi kesempatan dan kepercayaan. Ketika kami butuh memahami siapa itu Tuhan dan sejatinya hidup untuk apa, maka kami mencatumkan belajar tauhid, fiqh, tasawuf dalam kelas kami. Atau belajar tentang diri manusia, kami cantumkan psikologi, atau terkadang butuh sedikit berfilsafat dan belajar sastra maka kami berdiskusi dengan seseorang yang mengerti hal itu. Walau untuk sampai ke tempat tersebut kami perlu naik dua kali angkutan umum.

Ketika ingin dekat dengan alam dan melestarikan tumbuhan, maka kami belajar bertani bersama warga desa. Bahkan kami mendatangi warga, meminta kotoran sapi sebagai  pupuk bagi tanah. Kadang pula ikut memanen jagung di sawah. Ketika ingin belajar menggambar, kami datangi seorang seniman yang rumahnya seperti galeri seni barsitektur khas peninggalan Belanda. Dari beliau kami mengerti dasar-dasar menggambar. Kami mengenali para tokoh seniman dunia semisal Leonardo da Vinci, Van Gogh, Salvador, dan masih banyak lagi lewat fasilitas internet yang disediakan.

Ketika ingin menyanyi, kami buat lagu, setelah itu menggelar acara tiap bulan bernama Gelar Karya. Pentas karya untuk menampilkan kreasi sesuai bidang kami masing-masing. Hal paling mengesankan dalam Gelar Karya adalah apa yang kami tampilkan adalah buah dari proses kami sendiri, bukan dari orang lain.

Itulah inti belajar kami di sini, yakni berkarya. Karena dengan berkarya, seseorang akan memberikan sumbangsih kemanfaatan bagi sesama. Kami juga tidak perlu pusing-pusing mengerjakan pekerjaan rumah. Jusru kami mencari masalah di rumah dan lingkungan untuk kami bawa ke sekolah, lalu kami tuang sebagai bentuk narasi permasalahan dengan menawarkan solusi  yang kami sebut sebagai ide. Setelah selesai menulis, kami mempresentasikan ide masing-masing. Yang lain menanggapi,mengkritisi, serta menambahi untuk menyempurnakan ide tersebut. Yang kiranya mungkin untuk direalisasikan, kami realisasikan. Lalu seluruh ide dikumpulkan dan dijadikan buku. Biar rak-rak buku tak hanya terisi buku-buku orang lain tapi juga dari tangan kami sendiri.

Tiap hari Senin kami mengadakan ucapara. Bukan berdiri di lapangan dijemur di bawah terik mentari. Kami duduk melingkar, tidak berbaris. Tak ada yang di belakang atau di depan. Semua saling berhadapan satu sama lain. Diisi evaluasi kelas, forum, dan ide. Diawali presentasi, lalu saling menanggapi seperti adanya perubahan, kendala, atau target ke depan. Setelah semua terevaluasi, beranjak ke penulisan target selama seminggu ke depan. Kadang saya membuat target yang banyak, sehingga mengundang candaan dari kawan-kawan, “Targetmu kakehan, opo yo kelakon?”

Di sini semua orang adalah guru. Pendamping hadir di tengah-tengah kami sebagai orang yang mau mendengarkan keluh kesah kami. Mendengarkan mimpi-mimpi dan kisah kami. Sehingga terjadi suatu proses yang begitu romantis, saling mengisi dan berbagi. Pendamping menjembatani kami membuka mata terhadap pilihan-pilihan yang ada sehingga kami bisa memutuskan dengan diri kami sendiri apa yang kami pilih. Pula belajar bertanggung jawab dengan pilihan kami sendiri. Kami diberi kebebasan belajar, sehingga melahirkan kesadaran bahwa kebebasan kami ternyata dibatasi oleh kebebasan orang lain. Di tempat ini pula melahirkan pertemuan yang indah bersama orang-orang hebat.

Seniman, penulis, sutradara, pemain teater, mantan preman, dokter, motivator, kiai, santri, mahasiswa dan masih banyak lagi. Mereka datang membawa cerita-cerita yang membantu diri saya memahami bahwa perbedaan itu indah. Memaksakan manusia untuk seragam  adalah kesalahan. Kami belajar menghargai pendapat orang lain karena setiap manusia punya cerita hidup yang membentuk diri, prinsip, dan pendapatnya.

Pertemuan melahirkan dialog, dialog melahirkan pemahaman bahwa dengan mau melihat pendapat  orang lain kami tak akan merasa paling benar sendiri. Kesepakatan adalah tonggak tolok ukur apa yang nantinya kami jalani. Bukan aturan yang keluar dari bibir guru lalu harus ditelan paksa oleh anak didiknya. Pun bila ada kebijakan yang dikeluarkan dari para pedamping untuk warga belajar, tetap membuka ruang suara untuk tanggapan dan kritik.

Inilah proses belajar yang langka, kami yang masih remaja diberi kesempatan untuk mengutarakan pemikiran. Tidak dipaksa bungkam dan menerima tanpa melawan atau sekadar bertanya. Indah sekali. Sehingga kesempatan, motivasi, dan kepercayaan yang diberikan untuk kami membantu kami belajar berekspresi, mandiri dan mencari jati diri.