Oleh: Ely Umi Nurhayati

Saya bergabung di komunitas belajar Qaryah Thayyibah kurang lebih tahun 2003/2004, sejak pendidikan alternatif ini didirikan. Namun kala itu saya mengampu di lereng Gunung Merbabu, karena pada waktu itu ada 11 titik pendidikan alternatif yang berada di bawah naungan SPPQT. Tepatnya di SMP Candi Laras Merbabu, tepatnya di dusun Nglelo, Batur, Getasan.

Pengalaman ini begitu mengesankan, karena jarak tempuh antara Salatiga-Nglelo lumayan jauh dengan jalan masuk masih bebatuan dan licin. Waktu itu penduduk di sekitar Gunung Merbabu meyakini bahwa jalan di area pegunungan tidak boleh diaspal maupun dibetonisasi, sebab menurut mereka jika jalan diaspal maka akan semakin licin dan kendaraan bisa melorot ke bawah. Jadilah ciri khas jalan pegunungan yaitu bebatuan yang ditata rapi. Alhasil untuk menuju kesana kami harus naik ojek kurang lebih 45 menit, dengan berkelak-keloknya jalan pegunungan yang naik turun dan menikung tajam.

Dengan perjalanan seperti itu, dalam hati bertanya-tanya, seperti apakah sekolahan yang ada di sana nanti? Sungguh luar biasa mengagetkan ketika saya sampai di sana. Tidak seperti yang saya bayangkan. Jika pada umumnya  sekolah itu bergedung dengan segudang fasilitas, namun berbeda dengan sekolah alternatif ini. Sekolah alternatif ini berada di perumahan warga dengan fasilitas seadanya.

Waktu itu hanya ada 5 murid yang terdaftar di SMP itu, yaitu 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Mengapa hanya ada 5 murid? Ternyata setelah saya selidiki, menurut anak-anak dan warga sekitar sangatlah lumrah, sebab siswa SD yang ada di sana juga tidak banyak, kelas 6 maksimal 10-12 siswa. Rata-rata mereka yang lulus SD tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena jarak tempuh ke SMP reguler sangat jauh serta memakan waktu dan biaya yang cukup banyak. Kala itu banyak warga yang memutuskan ketika anaknya sudah lulus SD tidak perlu melanjutkan pendidikan. Anak-anak setara SMP itu diminta membantu orang tuanya berkebun maupun meladang.

Sungguh luar biasa semangat belajar lima anak itu. Mereka berlima benar-benar mempunyai niat dan tekad untuk bisa belajar. Perjalanan saya yang cukup melelahkan tiada artinya ketika dihadapkan dengan semangat dan kemauan belajar lima anak tersebut. Semangat dan iktikad belajar mereka meluluhlantahkan kelelahan saya. Sehingga saya berjanji dalam hati, akan saya antarkan anak-anak ini sampai ke titik final.

Betapa bahagia dan gembiranya mereka bisa melanjutkan pendidikan meski dengan model alternatif. Di sini saya sadar bahwa belajar itu tidak tertutup ruang dan waktu. Karena tanpa gedung dan fasilitas yang memadai, kami dapat memanfaatkan alam sebagai sarana belajar. Kami tidak monoton belajar di dalam ruangan, melainkan juga di luar ruangan sekaligus berjemur, sebab cuaca di pegunungan itu sungguh dingin sekali. Artinya, di pendidikan alternatif ini membebaskan dan memerdekakan kami dalam memilih tempat belajar, metode, media, dan banyak hal lain sesuai kondisi.

Waktu terasa begitu cepat, mereka sudah naik ke kelas dua. Kala itu kami masih menginduk di SMP Negeri 1 Getasan. Sungguh sangat mengagetkan ketika anak-anak itu diminta mewakili lomba Lomojari tingkat kecamatan. Ternyata dengan semangat belajar anak-anak itu bisa mewakili dan mendapatkan juara. Artinya dengan belajar yang memerdekakan itu bisa jauh lebih memaksimalkan kemampuan anak, sebab prinsip yang saya sampaikan ke anak-anak adalah; ‘Belajar dengan senang, hingga kita bisa menjadi orang yang senang belajar’.

Sampai ketika mereka ujian kelulusan, alhamdulillah nilai mereka bisa di atas anak-anak SMP reguler. Itulah awal perjalanan saya bergabung di pendidikan alternatif, yang kami mulai dengan perjuangan dan semangat dari anak-anak Gunung Merbabu.

Bu Ely bersama warga belajar


Pada tahun 2008 saya mulai bergabung di Qaryah Thayyibah yang berada di Kalibening atas mandat Pak Roy selaku donatur tetap SMP Candi Laras Merbabu. Awal saya bergabung di KBQT Kalibening juga canggung dengan anak-anak, karena biasanya saya menemui anak-anak yang lugu, namun disini saya menemui anak-anak yang aktif dan modern. Tak apalah, saya berpikir ini bukan hal baru, namun merupakan keberlanjutan perjuangan. Sebab secara metode pembelajaran sudah tidak asing lagi bagi saya, hanya saja saya harus menyesuaikan dengan anak-anak baru dengan karakter anak perkotaan. Mulailah saya belajar dengan anak-anak tipikal perkotaan ini.

Sungguh sangat variatif sekali karakter mereka. Di sini saya mulai tersadar bahwa saya harus meningkatkan kapasitas dan kualitas diri dalam menghadapi anak-anak ini, sebab anak-anak di sini lebih aktif dan progresif. Mereka benar-benar menemukan kemerdekaan dalam belajar. Lambat laun saya bisa beradaptasi dengan mereka dan pada akhirnya saya menjadi pendamping kelas (semacam wali kelas). Pengalaman luar biasa ketika menjadi pendamping kelas karena harus intensif mengetahui satu-persatu perkembangan dari anak didik secara komprehensif.

Dengan belajar bersama mereka, saya justru mendapatkan bonus ilmu yang luar biasa, karena pada dasarnya pendamping di sini bukanlah guru yang menyampaikan materi lalu selesai. Pendamping di sini cenderung belajar bersama, jadi sangat banyak sekali bonus ilmu yg akan kami dapatkan. Sebab kebanyakan materi yang kami pelajari disesuaikan dengan kebutuhan dan kesepakatan bersama. Mulai dari mencari materi, merancang pembahasan, sampai teknik penyampaian materi, serta hasil materi (pembelajaran) yang harus dipertanggungjawabkan besama.

Saya yang notabene mengenyam pendidikan formal dari SD sampai kuliah benar-benar merasakan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah seperti ini. Yaitu pendidikan yang memerdekakan gagasan, ide, pendapat, serta kreatifitas dan potensi anak, sehingga anak tidak merasa terbelenggu dengan tugas. Sebab di sini tidak ada penyeragaman belajar, namun yang kami tumbuhkan adalah kebersamaan belajar meski potensi yang dimiliki masing-masing anak berbeda.

Dengan keanekaragaman potensi anak, kami mendapatkan ilmu lebih dari mereka, sebab setiap anak harus melaporkan perkembangan proyek karya mereka masing-masing. Jadi kami tidak terpaku pada satu tema/materi pembelajaran, melainkan menghadapi variasi ilmu dan metode belajar yang bersumber pada anak. Untuk itu mari kita kembangkan pendidikan yang seperti ini dengan tata kelola yang lebih baik dan tertib agar semakin enak dan nyaman dirasakan, sehingga bisa memberikan kebermanfaatan hidup yang lebih luas.