Oleh: Arif Hidayat (Wali Murid)
Sejak kali pertama kenal KBQT, di tahun 2005, hal yang paling memikat hati dan pikiran saya adalah bahwa proses pembelajaran KBQT sangat sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Saya lahir dari keluarga muslim dan mengikuti jenjang pendidikan formal Islam. Setelah SD saya melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah, lalu pesantren, dan bahkan berkesempatan melanjutkan ke lembaga pendidikan tertua, Universitas Al-Azhar, di Kairo-Mesir. Maka wajar saja jika saya merefleksi praktek pembelajaran KBQT dari sudut pandang keislaman. Saat itu saya aktif menjadi guru Bahasa Arab di tiga Madrasah Aliyah wilayah Jepara dan Pati.
Sejak itu fenomena KBQT menjadi salah satu fokus perhatian saya, bahkan mempolarisasi cakrawala pandang saya di bidang pendidikan: alternatif dan formal. Hingga sekarang. Hal inilah yang membuat saya sulit bahkan tidak bisa lagi bertahan untuk berkecimpung di pendidikan formal. Sebenarnya saya yakin, apapun di dunia ini pasti memiliki titik temu atau konvergensi. Namun kenyataannya saya tidak bisa menyatukannya dalam diri saya. Pikiran saya yang mulai berpihak ke pendidikan alternatif, tidak lagi mampu membuat saya untuk tetap bertahan berkecimpung di pendidikan formal. Maka pada Juli 2006, serentak saya keluar dari tiga madrasah formal tempat saya mengajar. Dari berbagai sisi, praktek sekolah/madrasah formal saya temukan nyaris berlawanan 180 derajat dari pendidikan alternatif ala KBQT.
Pada perkembangannya, tak hanya itu, kami (saya dan istri) yang saat itu menjadi orang tua bagi anak yang masih balita, mulai memutuskan untuk tidak akan menyekolahkan anak ke sekolah formal. Dan alhamdulillah keturutan. Sekarang anak saya itu sudah berusia SMA tanpa melalui jenjang pendidikan formal: PAUD, TK, SD/MI, dan SMP/MTS. Saya yakin seyakin-yakinnya, tiap anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Orang tua cukup memberi kesempatan dan memfasilitasi keingintahuan itu secara memadai, serta memberikan teladan yang baik agar anaknya menjadi pembelajar sejati.
Pak Arif (tiga dari kiri) dan para wali murid KBQT |
Dalam pandangan saya, prinsip-prinsip pendidikan Islami berikut ini yang juga mendasari praktek pembelajaran KBQT:
Pertama, setiap anak adalah pembelajar. Fasilitas utama pembelajaran —tidak lain— adalah indra. Dan setiap anak, walau lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dia dikaruniai indra untuk memperoleh pengetahuan. Dengan indra inilah setiap anak manusia mampu belajar sejak ia lahir dan terus tanpa henti hingga ia mati. Berdasar prinsip ini, penting kiranya untuk menanamkan pada anak mental pembelajar. Bahwa belajar itu bisa di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja, dan dengan cara apa saja, selama tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Bahwa belajar itu proses aktif-kreatif menggunakan indra, hati, dan akal. Tidak harus menunggu diberitahu atau diajari orang lain.
Berdasar prinsip ini pula orang tua harus optimis dan berfikir positif pada anak-anak. Sebab tiap anak adalah pembelajar, tiap anak telah dikaruniai Tuhan fasilitas yang luar biasa untuk belajar yakni menyerap semua informasi dan akhirnya menjadi pengetahuan yang berguna bagi perjalanan hidupnya. Serta menumbuh-kembangkan spiritualitas, yaitu semua kebaikan yang kita lakukan hendaknya dengan niat ibadah pada Allah Yang Maha Kuasa yang telah mengaruniai fasilitas-fasilitas utama, yakni panca indra, untuk belajar.
Kedua, orang tua yang paling bertanggungjawab, penunjang pembelajaran dan pendidikan yang paling utama adalah lingkungan keluarga, terutama pendampingan orang tua. Bahkan bisa dipastikan, sebaik apapun lembaga pendidikan, jika keluarga tidak harmonis dan tidak mendukung perkembangan anak maka anak tumbuh tidak sesuai harapan. Sebaliknya juga demikian, jika keadaan keluarga sangat kondusif bagi anak maka kalaupun dia belajar di sebuah lembaga yang biasa-biasa saja atau kurang bermutu, maka dia akan tetap menjadi anak yang baik.
Tiap orang tua harus lebih percaya diri untuk mendampingi dan mendidik anaknya, ketimbang menyerahkannya pada lembaga atau orang lain. Oleh karenanya orang tua harus selalu belajar untuk meningkatkan kualitas keorang tuaannya agar bisa mendampingi anak-anaknya dengan baik. Walaupun akhirnya anak memilih masuk lembaga atau didampingi orang lain, maka itu hanya bersifat sementara, dan sebenarnyalah orang tua yang lebih berkewajiban.
Ketiga, kepercayaan yang cukup pada anak. Salah satu godaan terberat bagi orang tua atau pendidik adalah keinginan untuk senantiasa mengatur semua aktifitas anak. Masih banyak orang tua dan pendidik yang berpikiran bahwa: karena anak tidak tahu apa-apa maka sudah seharusnya orang tua mengatur semua aktifitas anak, orang tua harus mampu mengkondisikan anak untuk selalu menuruti semua arahan dan perintah orang tua. Dengan begitu, jika anak tidak menuruti arahan orang tua maka lantas anak dicap sebagai anak nakal atau bandel.
Tidak begitu semestinya. Sebab kebaikan itu tidak terbatas. Prinsipnya, semua aktifitas adalah baik selama itu tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Maka hendaknya orang tua memberikan kepercayaan yang cukup agar anak berani bebas beraksi dan berkreasi sebagaimana yang disukainya. Andaikan akhirnya anak melakukan kesalahan, secara alami anak pasti akan belajar dari kesalahannya, tanpa harus disalah-salahkan apalagi dimarahi.
Bagi anak usia dini, prinsip ini juga berlaku. Penting sekali bagi orang tua memberikan keleluasaan bagi anaknya untuk bebas berekspresi, dengan tetap selalu mengawasi perilaku. Sekali lagi, yang terpenting prilaku itu tidak sesuatu yang buruk dan merugikan (seperti buang air kecil sembarangan, berkata kasar dan tidak sopan, dll) maka biarkan anak melakukannya. Oleh karena itu orang tua harus bisa menjadi contoh yang baik dalam semua aktifitas harian. Orang tua seharusnya mengurangi dan menghindari arahan, perintah, dan larangan pada anak. Orang tua tidak boleh membatasi aktifitas anak. Biarkan anak beraktifitas sekehendaknya selama itu tidak merugikan dirinya dan orang lain.
Keempat, curahan kasih-sayang. Secara alami, hampir semua orang tua dibekali Allah rasa kasih-sayang pada anaknya. Dengan kasih-sayang ini semua orang tua menjadi tidak rela jika anaknya bodoh, anaknya dinakali anak lain, dimarahi orang lain, dicueki, diabaikan, dll. Dengan kasih-sayang ini semua orang tua ingin sekali anaknya menjadi pintar, sopan, rajin, dan bisa berkembang normal dengan selayaknya.
Hanya sayang sekali masih banyak orang tua yang berdalih kasih sayang, dia membela semua tindakan anaknya tanpa mempedulikan apa itu salah atau benar; dengan dalih kasih sayang dia memaksakan kehendaknya pada anaknya; dengan dalih kasih sayang dia selalu menuntun dan memberikan arahan, perintah, dan larangan pada anaknya; dll. Banyak orang tua yang meletakkan kasih-sayang secara tidak proporsional.
Padahal semestinya kasih-sayang ini kita curahkan secara proporsional, agar anak bisa mandiri dengan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusannya, tidak malah bergantung dan selalu mengandalkan orang tua. Oleh karenanya hendaknya rasa kasih-sayang ini mendasari kita untuk senantiasa mendoakan anak agar tumbuh menjadi anak yang berbudi pekerti baik, aktif berkomunikasi dengan anak dengan kalimat-kalimat yang baik, tulus mendampingi anak dalam semua aktifitasnya, memikirkan serta mempelajari cara dan tindakan yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan anak, dan menghargai pilihan-pilihan dan keputusan anak.
Kelima, penghargaan terhadap keputusan anak. Semua orang tua boleh jadi punya rasa kasih-sayang pada anaknya, tapi tak banyak yang mampu menghargai dan menghormati keputusan anaknya. Keputusan adalah pilihan-pilihan aktifitas yang disukai anak.
Bahkan tak jarang orang tua memaksakan pilihan-pilihannya pada anaknya dengan dalih kasih-sayang. Dia selalu menganggap bahwa pilihannya lebih baik dan tepat, oleh karenanya itu akan lebih baik dan lebih tepat dilakukan oleh anaknya. Ini kesalahan besar. Sebab setiap orang punya kemampuan fisik, mental, dan pikiran yang berbeda-beda. Termasuk beda dari orang tuanya. Jadi biarkan anak menentukan pilihannya dan hargai pilihan anak kita.
Dengan minta pendapat dari anak, otomatis kita memberikan kesempatan pada anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang berani dan percaya diri. Kita harus meluangkan waktu yang memadai untuk anak, baik untuk sekedar bercengkrama, bermain, dan menemani anak dalam belajar. Sesibuk apapun kita, sebaiknya kita punya jadwal waktu rutin untuk bersama anak. Jangan sampai kita memberikan sisa-sisa waktu pada anak.
Kita harus membantu anak jika dia minta bantuan, dan membiarkan anak dengan aktifitasnya jika dia lebih asyik melakukannya sendiri (orang tua cukup mengawasi). Kita perlu memberikan pujian, bahkan sesekali hadiah, atas tindakan atau karya anak yang sangat baik. Kita tidak boleh membanding-bandingkan dengan anak lain. Sebab pembandingan ini hanya akan membuat anak bingung dan merasa tidak percaya diri. hakikatnya setiap anak itu istimewa, memiliki karakteristik dan keunikannya sendiri.
Keenam, kesabaran. Sabar menghadapi berbagai perilaku anak yang tak terduga hampir sama beratnya dengan menyatakan sikap menghargai dan menghormati pilihan anak. Kesabaran ini sangat berkait erat dengan pengetahuan orang tua mengenai prinsip-prinsip utama dalam mendampingi anak. Jika orang tua masih mengira bahwa memaksakan pemikiran pada anak adalah hal yang lumrah dan benar adanya, maka bisa dipastikan orang tua seperti ini adalah sosok orang tua yang tidak penyabar. Dia suka dan sering memaksakan kehendak pada anaknya. Dia akan sering emosi dan marah menghadapi berbagai aktifitas anak yang dikiranya tidak berguna dan sia-sia saja.
Oleh karena itu penting sekali orang tua membuka dan mengembangkan wawasan mengenai prinsip-prinsip dasar pendampingan anak, terutama dalam hal memberikan kepercayaan pada anak untuk menentukan pilihannya sendiri (selama itu menurutnya baik dan tidak merugikan orang lain). Dengan memberikan kepercayaan pada anak, maka akan menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggungjawab anak. Pasti di sana-sini akan terjadi banyak kesalahan. Maka biarkan anak belajar dari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Prinsipnya, semakin anak mandiri dalam pilihan dan tindakannya, maka makin percaya diri dan makin tanggung jawab dia atas semua resiko yang akan terjadi.
Jika anak kita masih usia dini, belum bisa memilah antara benda yang berbahaya dan tidak, maka kita hanya perlu menjauhkannya dari benda-benda yang bisa melukai seperti pisau. Atau sesuatu yang bila tertelan akan berbahaya, maka kita harus selalu menjaganya agar benda itu tidak dimasukkan ke mulutnya.
Ketujuh, jujur. Orang tua harus tampil tulus, jujur, dan apa adanya. Tidak ada orang yang sempurna, pasti punya kelemahan dan kekurangan. Maka semuanya harus disampaikan dengan apa adanya dan jujur. Jika ada kekurangan atau kesalahan, biarkan anak mengetahuinya secara wajar (pada saat yang tepat). Jika anak bertanya atas kekurangan atau kesalahan tsb, maka orang tua harus menjelaskannya dengan cara yang bijak sekiranya anak bisa menerima dengan baik, dan akhirnya menyadari bahwa kekurangan dan kesalahan itu manusiawi. Orang tua harus minta maaf pada anak atas semua itu. Dan harus berusaha agar kekurangan dan kesalahan tsb tidak terulang.
Kedelapan, akhlak mulia. Walau secara urutan persoalan akhlakul karimah (akhlak yang mulia) ini yang terakhir, tapi hakikatnya ia nomor satu. Sama sekali tidak bisa diabaikan. Mengapa terakhir, karena siapapun yang telah mampu menerapkan prinsip-prinsip sebelumnya, secara otomatis dia telah mendidik anak dengan cara yang yang sangat baik. Dia telah menjadi suritauladan bagi anaknya dalam hal akhlak, dan secara alami anak akan banyak menyerapnya.
Mengapa nomor satu, karena akhlakul karimah memang harus dinomor-satukan.
Setiap orang yang berakhlakul karimah dia adalah sosok yang: berfikiran positif, berprasangka baik (husnudzzon, baik terhadap Allah SWT atau sesama manusia), bertanggungjawab, tidak merasa bahwa pikiran-pikirannya selalu bisa diterapkan pada orang lain termasuk anak sendiri, bahkan dia suka memberikan kepercayaan pada anak, karena dengan begitu anaknya akan lebih mudah tumbuh menjadi sosok yang berani dan percaya diri. Penuh kasih-sayang, menghargai dan menghormati keputusan anak, penyabar, dan jujur.
0 Comments