Oleh: Rasih Mustaghis Hilmy (Warga Belajar)

Enam tahun menjadi murid di SMP-SMU Alternatif Qaryah Thayyibah (kini Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah) membawa saya dan sebelas teman lain pada perjalanan melewati masa remaja yang tak biasa, kerap dramatis. Tidak seperti ketika bersekolah di Sekolah Dasar, di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah saya dihadapkan pada situasi belajar yang tak sewajarnya sekolah pada umumnya. Oiya, judul tulisan ini diambil dari salah satu karya rekan seangkatan penulis di KBQT, almarhumah Maia Rosyida, yakni novel yang ceritanya diangkat berlatar situasi belajar di Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah.

Dahulu, proses belajar di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah tak terlalu banyak berbeda dengan sekolah lain, hanya dimulai lebih awal dan ditutup lebih lama dari sekolah biasanya. Sekolah dimulai pukul 06.00 pagi dan diakhiri pukul 14.30 sore, enam hari penuh kecuali hari jum'at. Satu jam pertama diawali dengan Matematika dan English Morning. Pukul tujuh istirahat untuk sarapan bersama, kemudian menyusul berbagai mata pelajaran yang diajarkan oleh guru-guru relawan, istirahat siang, jama'ah zhuhur, tadarus Qur'an bersama, dan pulang.

Dasar pikirnya praktis; sekolah berkualitas tidak harus mahal. Ukuran kualitasnya pun sederhana; semakin banyak dan intensif jumlah jam pelajaran yang bisa diraih dalam satu minggu semakin baik. Proses Belajar Mengajar di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Menjadi murah dan intensif karena siswa yang semuanya berasal dari Kelurahan Kalibening tidak perlu berangkat ke kota. Waktu pulang pergi yang habis di jalan bisa dimanfaatkan untuk proses belajar, begitu pula ongkos transport dialihkan untuk membeli sarapan yang bergizi. Guru pengajar kami relawan yang kebanyakan merupakan staf harian Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Di sela-sela pekerjaan di organisasi, mereka menyisihkan waktu untuk mengisi mata pelajaran. 

Hilmy (tengah) santap bersama teman-teman KBQT


SPPQT adalah organisasi petani yang didirikan beberapa tahun sebelum SMP Alternatif dibuat. Pak Din, beberapa temannya, dan ratusan calon anggota melakukan kongres pertama pada tahun 1999. SPPQT berkembang pesat, pada saat SMP Alternatif berdiri anggota SPPQT sudah menjadi ribuan dan tersebar di beberapa kota dan kabupaten. SPPQT adalah organisasi yang menargetkan program pada petani serta hal-hal yang terkait pada petani.

Isu tentang komersialisasi pendidikan di Indonesia sangat ramai dibicarakan pada tahun 2003. Biaya pendidikan mulai merangkak, sementara subsidi pemerintah tak kunjung terasa. Atas dasar masalah itulah sekolah kami didirikan. SMP Alternatif Qaryah Thayyibah adalah bagian dari program besar SPPQT dalam bidang pendidikan, bahwa Anak-anak petani juga berhak mengenyam pendidikan yang berkualutas dengan biaya murah. Sebab itu nama sekolah kami adalah SMP Alternatif Qaryah Thayyibah. Sekolah kami adalah bagian dari serikat tani yang menjadi alternatif atau pilihan lain dari jalur pendidikan formal.

Meski materi pelajaran bersumber dari buku yang sama, ada hal mendasar yang menjadi pembeda antara sekolah kami dengan sekolah umum; proses belajar yang interaktif dan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang terjadi di lingkungan kami tinggal. Menukil kalimat Prof. Muchtar Buchori; “ilmu pengetahuan adalah abstraksi dari kehidupan.” Karena itu (seharusnya) ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah tidak boleh terlepas dari konteks dimana sekolah itu berdiri, institusi pendidikan turut memberi sumbangsih sebagai penyelesai masalah, bukan sebaliknya menjadi sumber masalah baru.

Metode belajar inilah yang kemudian membuat kami menjadi sorotan para pengamat dan praktisi pendidikan di Indonesia. Di tengah isu industrialisasi dan komersialisasi pendidikan, muncul sebuah solusi dari tempat yang jauh dari pusat peradaban, sebuah praktik pendidikan kritis muncul dari sebuah desa yang jauh dari hingar bingar kota. Semakin hari semakin banyak tamu datang dari luar kota untuk melakukan observasi atau sekadar berwisata ke tempat kami. Semakin banyak lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan kerjasama. Hingga puncaknya tahun 2006 saat salah tiga dari teman kami menutup kelulusan SMP dengan Tugas Akhir bertajuk Lebih Asyik Tanpa UAN, yang kemudian dimuat di media cetak nasional.

Seiring perjalanan, nama SMP-SMU Alternatif diganti dengan Komunitas Belajar. Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah adalah lembaga pendidikan yang dinamis, terbentur pada satu ide ke ide yang lain, pada satu kenyataan ke kenyataan lain. KBQT terus berubah dari waktu ke waktu, seperti kebudayaan yang tak kenal final. Istilah ‘komunitas’ kemudian dipilih sejak ‘sekolah’ dianggap kurang menggambarkan proses yang terjadi di Qaryah Thayyibah. Komunitas Belajar terasa lebih egaliter dan lentur, sebuah upaya untuk membangun antitesa terhadap bangunan makna ‘sekolah’ yang terasa kaku dan hirarkis. Representasi atas relasi yang egaliter dan demokratis antara pendamping dan warga belajar serta materi pembelajaran yang secara pebuh direfleksikan dari kenyataan.

Guru yang dulu menjadi sumber utama pengetahuan siswa, kini tak lagi ada. Guru yang kini disebut sebagai pendamping beralih fungsi menjadi moderator, dinamisator dan fasilitator. guru berperan untuk menjaga atmosfir belajar supaya tetap mengarah pada hal-hal yang produktif. Tidak lagi menjadi subyek pengajar, guru melebur dengan siswa, bersama-sama menjadi subyek belajar yang saling berbagi.

Metode belajarnya juga berubah secara radikal. Jika dulu jam belajar dibagi-bagi menurut mata pelajaran seperti sekolah pada umumnya, kini berubah total menjadi berbasis proyek. Setiap siswa memiliki proyek pribadi dan kelompok yang sesuai dengan ketertarikannya. Dikerjakan menurut kemampuan dan kemauannya sendiri. Metode ini akan membenturkan siswa dengan kenyataan yang ia hadapi setiap waktu, siswa akan belajar secara terus menerus mengenali potensi diri serta lingkungannya, secara langsung bertemu dengan masalah-masalah untuk diselesaikan.

KBQT tidak pernah dirancang untuk menjadi seperti saat ini. Kondisi KBQT saat ini terjadi karena KBQT terbentur pada masalah-masalah yang dihadapi, dan terbentuk oleh rangkaian keputusan penyelesaian masalah yang diambil. Bentuk yang ada saat ini tidak ‘by design’, melainkan sebuah hasil konsekuensi logis. Artinya, sama seperti siswa-siswa yang belajar di dalamnya, KBQT sendiri secara institusi mengalami proses perubahan itu sendiri.

Untuk teman-teman yang saat ini aktif menjadi warga belajar di KBQT, penulis ingin mengingatkan bahwa wahana belajar yang ada saat ini adalah rangkaian proses panjang yang tidak terjadi secara seketika, kesemuanya dilahirkan oleh kenyataan yang direfleksikan oleh pendahulu-pendahulu kalian. Refleksikanlah kenyataan-kenyataan yang kalian temui, jadikanlah ia sebagai bahan untuk membuat karya-karya baru. Beranikanlah diri untuk mengambil resiko, tempa diri, terus belajar dan berbagi. Terakhir, Jangan pernah berhenti berubah, karena berhenti berarti mati, itu dalilnya.