Oleh: Mujab
Akhir tahun 2000 saya masuk di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Kala itu membantu menyusun proposal untuk PKM pasca Indonesia mengalami krisis monenter di tahun 1997 dan disusul dengan tumbangnya rezim orde baru di tahun 1998. Tahun 1999 SPPQT dideklarasikan, dan tahun 2000 mulai berkegiatan. Dua tahun kemudian di SPPQT ada wacana terkait penyediaan pendidikan untuk petani. Petani berhak mendapatkan pendidikan berkualitas dan terjangkau.
Gagasan untuk menyediakan beasiswa bagi anak petani kandas, akhirnya dipilih jalan untuk mendirikan sekolah terbuka. saat itu diberi nama SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah. Ada sejumlah pegiat SPPQT bersama sejumlah orang tua wali murid terlibat dalam perjalanan awal SLTP Alternatf ini. Sambil menjadi pendamping belajar di SLTP Alternatif, SLTP Alternatif Harapan Makmur, sesekali di SLTP Alternatif Alhikmah, saya masih tetap bekerja di SPPQT dan kuliah di Yogyakarta. Cerita ini akan mengulas saat berproses di KBQT, Kalibening Salatiga.
Pak Mujab bersama warga belajar |
A. Proses Belajar
Proses belajar dibagi dalam pembelajaran di kelas, pembelajaran di forum, dan pembelajaran temporer. Awal mula SLTP Alternatif berdiri tentu masih mencari bentuk dan format hingga menjadi seperti yang ada hari ini. Saat itu karena bentuknya SLTP Terbuka maka tentu ada pembelajaran di kelas, penyampaian materi dan lain sebagainya. Penyampaian materi mereferensi pada kurikulum yang berlaku saat itu, walaupun ada kebebasan untuk berimprovisasi. Kelas masih efektif dan mayoritas pembelajaran masih di kelas. Tetapi pembelajaran di luar kelas memang sering dilakukan, baik karena terkait dengan materi kelas atau memang bersengaja belajar di luar kelas. Proses ini berlangsung sekitar tiga tahun. Menariknya pengalaman di kelas adalah belajar dalam kelas kecil, dengan materi yang bebas walaupun masih mereferensi kurikulum yang ada.
Beberapa waktu kemudian mulai muncul forum-forum. Saya lupa mulainya di tahun ke berapa, tetapi forum ini pertama kali muncul mirip ekstrakurikuler. Semakin ke sini forum semakin efektif dan massif. Ada forum teater, jurnalistik, musik, film, menulis, dan lain sebagainya. Pengalaman menarik saya adalah mendampingi lahirnya Buletin Elalang dari forum jurnalistik. Mendampingi lahirnya Teater Gedhek dari forum teater. Ikut menjadi pemeran dalam pembuatan sejumlah film. Ikut menjadi cast dalam pembuatan sejumlah video klip karena sedang musimnya kala itu.
Forum jurnalistik muncul dari landasan berpikir bahwa media adalah penting, serta perlu memunculkan media alternatif untuk menghadapi media arus utama. Dengan mengikuti pelatihan jurnalistik, (harapannya) warga belajar mengerti bahwa tulisan itu ada banyak ragam. Ada berita, opini, artikel, feature, cerpen, sastra dan lain sebagainya. Termasuk pula teknis dan langkah dalam membuat tulisan itu sendiri. Setiap angkatan di awal-awal selalu memperoleh pelatihan jurnalistik sebagai keterampilan dasar. Sehingga setiap anak memiliki dasar untuk menulis sesuai dengan bentuk tulisan yang akan ditulis. Selain itu mereka memperoleh materi teknik wawancara, menyusun dan menyiapkan pertanyaan, merekam dan transkrip hasil wawancara, menuangkan dalam tulisan berita dan sebagainya. Semua warga belajar tahu langkah-langkah kerja jurnalistik.
Pengelolaan Buletin Elalang dilakukan per kelas. Setiap kelas secara bergiliran menggarap satu edisi. Tema laporan utama disepakati dalam rapat redaksi. Reportase dilakukan oleh sejumlah warga belajar di kelas yang mendapat giliran. Selebihnya menjadi layouter, fotografer, editor, kontributor tulisan untuk artikel, opini, dan rubrik lainnya, hingga naik cetak. Elalang sebagai sebuah media memiliki format dan bentuk baku cukup baik, sistem kerja yang mapan dan kepengurusan inti (diluar pengurus masing masing kelas) yang baik.
Kendala saat itu adalah: pertama; adanya pemikiran yang berkembang (atau dikembangkan) bahwa menulis itu harusnya bebas, tidak perlu berbentuk dan berformat, tidak perlu diedit dan sebagainya. Kadang hal ini berpengaruh pada semangat mengerjakan Elalang. Kedua; ada sebagian warga yang merasa bahwa menulis itu sesuai dengan kesukaannya dan tidak boleh dipaksakan. Hal ini sering menjadikan pembagian kerja di kelas kemudian macet. Elalang sempat bergulat dengan pemikiran dan gagasan tersebut hingga akhirnya berhenti terbit.
Tidak ada yang mendapat untung dari berhenti terbitnya elalang. Berita gembirannya adalah: pertama; Elalang terbit banyak sekali, kira kira 10 edisi lebih. Pernah dalam bentuk majalah dan dicetak sekitar tiga edisi, selebihnya dalam bentuk buletin (lupa angka pastinya). Kedua; dalam situasi seperti sekarang nalar jurnalistik sangat relevan di tengah hoax dan berita palsu yang banyak sekali. Warga belajar memiliki naluri jurnalistik dalam cek, ricek dan multiple cek yang diasah dari kerja-kerja jurnalistik sehingga terhindar dari menjadi korban hoak.
Pelatihan dasar berikutnya yang diperoleh warga belajar adalah pelatihan dasar teater. Warga belajar memperoleh materi tentang penokohan, perwatakan, penulisan naskah, pementasan, artistik (panggung, makeup, lighting), penyutradaraan, dan manajemen produksi pementasan. Warga belajar juga memperoleh materi tentang olah vokal, olah rasa, olah tubuh, konsentrasi, pernafasan dan sejumlah teknik lain yang dibutuhkan bagi artis teater. Selain itu juga diperoleh materi tentang musik dalam teater, dan sejumlah materi terkait lainnya.
Ada sejumlah pementasan yang dilakukan, walaupun yang berbasis naskah bisa dihitung jari. Di antaranya adalah sebuah pentas monolog dengan artis Puji Lestari. Selebihnya dalam pementasan pendek dengan mengadopsi puisi untuk dipentaskan, pertunjukan tari, dan gelaran musik. Dalam teater, warga belajar mengalami masa untuk bekerja keras, kerja dalam tim, ketelatenan dan kekompakan saat menjalani proses produksi. Menghapal naskah, belajar vokal, mengembangkan kemampuan akting, membangun perwatakan, dan lain sebagainya.
Proses ini juga menemui kendala karena gagasan dan pemikiran yang agak berbeda. Menghapal naskah dipandang sebagai pekerjaan sia-sia karena belajar tidak perlu menghapal. Latihan yang terus menerus dipandang mengokupasi waktu warga belajar untuk belajar hal yang lain, sebab latihan biasanya butuh 1-2 jam setiap hari. Belum lagi pandangan bahwa anak teater dipandang sebagai anak urakan. Dampaknya adalah dalam sekitar 3-4 kali kepengurusan, Teater Gedhek belum ada pementasan yang berbasis naskah, padahal sejak periode kepengurusan kedua sudah ada pelatih dan naskah yang disiapkan. Tetapi motivasi untuk berproduksi tergerus dan semakin lama semakin hilang. Pentas monolog berhasil karena naskah dibedah, dihayati, dihapalkan dan disusun latihan dalam diam. Monolog memang hanya seorang pemain, pelatih/sutradara dan naskahnya mencari di internet.
Di balik sejumlah materi dan proses itu, sebenarnya siswa belajar tentang perwatakan, karakter, kepribadian, penokohan, dan peran. Materi ini sangat penting untuk dipahami dan diimplementasikan di luar dunia teater (dunia nyata). Pengembangkan karakter ditekankan dalam rangka mendukung warga belajar mengembangkan karakter dan jati dirinya. Harapannya, anak bisa membangun kepribadiannya dengan baik serta terhindar dari krisis identitas.
Dalam seni bermain peran, warga belajar diharapkan mampu membawakan peran dengan baik apapun peran yang dimainkannya. Di masyarakat, peran terbagi secara adat dan naluriah. Kemampuan membawakan peran atas dirinya membantu warga belajar terhindar dari kegagalan membawakan peran di masyarakat, frustasi, merasa tidak dibutuhkan dan lain sebagainya. Sehingga warga belajar bisa menjalankan peran dengan damai dan bahagia apapun peran yang diperoleh, sambil perlahan berpikir dan berusaha untuk meningkatkan peran. Kemampuan mengidentifikasikan peran menjadi bekal warga belajar untuk menjalankan tugas dan perannya dengan baik, dan tidak menjadi beban di komunitas maupun masyarakatnya.
B. Berkarya
Berproses dengan warga belajar dalam membuat karya dilakukan sebagai bagian dari kegiatan kelas, kegiatan tim, atau bersengaja membuat proyek dengan warga belajar. Kadang Gelar Karya dilakukan oleh kelas dan disitulah kemudian membuat karya untuk dipentaskan. Pernah juga bergabung dalam membuat film, baik di kelas atau tim, untuk ditampilkan dalam Gelar Karya, dan untuk ditampilkan di tempat lain.
Termasuk dalam pementasan Teater Gedhek yang ditampilkan di Yogyakarta dalam Jagongan Media Rakyat bersama CRI. Pernah terlibat dalam pembuatan film bersama Devi, Amri, Dilla, dan kawan-kawan dalam film Papiku Puber Lagi, dalam film Laskar Pemimpi bersama Ulum, Muna, Adi, Benjo dan warga belajar di kelas. Membuat klip lagu Nidji bersama Rossi, Sukiman dan lainnya. Serta beberapa lain yang sudah mulai lupa.
Membuat karya memang menjadi pengalaman bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses produksi dari karya tersebut. Kerja tim dibutuhkan. Kerja manajerial dibutuhkan, kesepakatan dan patuh pada kesepakatan dipelajari dan diamalkan. Pukul 12.00 malam harus syuting di terminal ya dijalani. Intinya bagaimana proses produksi bisa selesai dan karya bisa ditampilkan.
C. Kegiatan Luar
Kadang kegiatan dilaksanakan bersama-sama dengan sekolah alternatif lain dan dilaksanakan di luar KBQT. Pelatihan jurnalistik beberapa kali dilaksanakan dengan Harapan Makmur. Kemping pernah dilaksanakan dengan sejumlah sekolah alternatif di Boyolali. Pelatihan dasar teater dilaksanakan dengan Harapan Makmur, Alhikmah, Albarokah, dan lain sebagainya.
Melaksanakan kegiatan di luar kadang juga dilakukan oleh forum. Misalnya pementasan keluar kota Teater Gedhek, mengisi acara Tlatah Bocah di Magelang, mengisi acara di Kalitaman Salatiga, pementasan di Universitas Muhammadiyah Magelang, dan lain sebagainya. Kegiatan di luar membutuhkan persiapan yang lebih karena faktor lokasi, transportasi dan waktu. Menariknya adalah dukungan dari teman-teman cukup bagus untuk acara di luar ini. Bahkan saat pementasan di Magelang, beberapa warga belajar mbonek naik truk untuk sampai di lokasi pementasan, karena mobil yang tersedia terbatas dan harus membawa properti pementasan.
Kegiatan di luar menjadi kesempatan bagi warga belajar untuk membangun komunikasi, relasi, jaringan kerja, dan hubungan pertemanan dengan pihak luar. Sehingga bisa meningkatkan kapasitas, jaringan dan kemampuan lainnya. Berkegiatan di luar juga menjadi media publikasi atas aktifitas dan eksistensi KBQT, sehingga khalayak semakin mengenal dan akrab dengan KBQT. Interaksi dengan pihak luar menjadikan warga belajar terhindar dari pemikiran dan sikap sebagai yang paling baik, paling benar, dan memandang remeh pihak lain. Dengan kata lain kegiatan di luar mengajarkan tentang solidaritas, toleransi, dan saling mengapresiasi.
0 Comments