Oleh: Megan Hewitt, Ph.D. (Executive Director, American Institute for Indonesian Studies, University of California, Berkeley) 

Pengalaman pertama saya berkegiatan dengan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) adalah pada tahun 2012. Saya menghabiskan musim panas, sekitar satu bulan, bersama komunitas ini dengan tujuan untuk mengajar Bahasa Inggris.

Saat itu Pak Din (Ahmad Bahruddin, pendiri KBQT) menanyakan apakah saya tertarik mengajar. Sementara saya sendiri tertarik untuk belajar tentang komunitasnya. Maka saat itu saya datang dengan rencana-rencana pengajaran Bahasa Inggris. Kemudian mulai saya sadari bahwa cara mengajar yang saya tahu tidak akan begitu terpakai pada komunitas di kampung Kalibening ini. Murid-muridnya jauh terlampau merdeka dalam belajar, mereka tidak terkungkung hirarki kelas, berupa guru sebagai sumber pengetahuan yang menyajikannya kepada murid. 

Megan Hewitt, Ph. D.

Selama berada di Qaryah Thayyibah, saya tahu bahwa pendidikan yang dilalui Pak Din pada tahun ’80 - ‘90-an sangat terpengaruh oleh pemikiran para cendekiawan global yang mengkritik praktik-praktik standarisasi Pendidikan, sebab dianggap sangat hirarkis. Ideologi tersebut masih dipegang teguh di komunitas ini sampai sekarang, bahkan mewujud secara nyata melalui karya-karya anak-anak di sana. 

Hal lain yang saya pelajari dari gaya pendidikan di Qaryah Thayyibah adalah pentingnya berbaur bersama masyarakat sekitar. Makna “Qaryah Thayyibah” itu sendiri berarti “desa yang berdaya”. Maka ini bukan hanya tentang pendidikan, tetapi juga tentang kehidupan sehari-hari yang terhubung dengan pendidikan. Hal penting lain dari sejarah komunitas di Kalibening ini adalah hubungannya dengan serikat petani, yang bernama Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Yakni suatu organisasi advokasi yang didirikan oleh dan untuk para petani di Kalibening dan daerah-daerah sekitarnya. 

Apa yang membuat pembelajaran mereka begitu merdeka adalah cara mereka melibatkan masyarakat di sekitarnya, sehingga komunitas itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Kalibening. Istilah “berangkat sekolah” bukan berarti “pergi menuju tempat bernama sekolah”, melainkan kegiatan belajar yang terwujud di rumah-rumah warga bersama segenap anggota keluarga. 

Kegiatan belajar betul-betul menjadi peran bersama komunitas. Hal semacam ini bukan sesuatu yang bisa Anda temukan dalam banyak sistem pendidikan di seluruh dunia. Mereka mengajarkan kepada saya hal penting tentang bagaimana anak bisa belajar dengan merdeka mulai di usia belia. 

Model Pendidikan Qaryah Thayyibah yang berbaur dengan masyarakat sekitar mampu mendorong anak-anak menciptakan pendidikan mereka sendiri, dan menciptakan karya-karya yang menakjubkan. Salah satu hal yang membuat saya ingin mempelajari lebih dalam tentang komunitas di Kalibening ini adalah berlimpahnya karya-karya tulis yang diterbitkan secara mandiri oleh anak-anak ini. 

Saya datang ke sini dan terpukau oleh lusinan, atau bahkan ratusan, karya tulis yang sudah diterbitkan secara mandiri oleh anak-anak Qaryah Thayyibah. Itu semua hanya pintu masuk bagi saya untuk menyaksikan karya-karya kreatif lain yang mereka buat. Seperti menyediakan akses wifi untuk seluruh desa, mencipta karya seni, pementasan, musik, sains dan teknologi. 

Padahal mereka tidak berada di tempat yang menjadi pusat belajar, bahkan cenderung desa yang agak terpencil. Komunitas ini betul-betul menjadi tempat yang sangat menginspirasi. Itulah mengapa saya melihat anak-anak di sini menjadi contoh yang sangat bagus tentang bagaimana pendidikan bisa menjadi praktik yang memberdayakan dan memerdekakan.


Qaryah Thayyibah, A Wonderful Model for World Education

By: Megan Hewitt, Ph.D. (Executive Director, American Institute for Indonesian Studies, University of California, Berkeley)

My first experiences working with Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah were in 2012, I Spent a summer about a month with the community, with the intention of teaching English. Pak Din at that time had asked, if I would be interested in teaching, and I was also interested in learning about their community. 

So at that time, I came in with all these English lessons planned, and I learned very quickly that the style of teaching that I was accustomed to, what's it really going to operate the same way with the community in Kalibening. 

The students are far too independent in the way that they learn to have a typical kind of a hierarchy in the classroom, where the teacher comes with knowledge and bestows it to the students. When I spent time in Qaryah Thayyibah, I learned that Pak Din and his education in the 80s and 90sm he was very heavily influenced by a lot of the scholars of the global thoughts who were critiquing standardized educational. This is because of that very hierarchy. And that that kind of ideology still runs through the community today, but has taken a life of its own largely through the work of these kids. 

Another thing that I learned from the style of education in Qaryah Thayyibah was the importance of it being embedded in the surrounding community. The notion of Qaryah Thayyibah in English? We might say an empowered village. It's not just about the education that's happening there. It's about a lot of other everyday practices and just everyday life that is incorporated into education. 

Another important part of that history in Kalibening is the connection to the farm workers union at Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), an advocacy organization created by and for farm workers in Kalibening and the larger region surrounding Kalibening. 

What makes it such an independent style of learning is the way in which they mobilize the community around them. It is part of everyday life in Kalibening. Going to school is not going away to school but it is embedded in the households within everyone's family. It is really a community effort and that's not something you see in a lot of educational systems around the world. 

They taught me a great deal about how learning from a very early age can be independent. The Qaryah Thayyibah model where education is embedded in the surrounding Community, it inspires the kids, it empowers the kids to create their own education and they create amazing things. 

One of the reasons I wanted to learn more about the community in Kalibening, was because of this huge output of published literature these kids had produced. I had come across this in some of my other work studying Indonesian literature and I was really intrigued by the dozens, if not hundreds of independently published works that students from Qaryah Thayyibah had created. 

That was just an entry point into my learning about all the kinds of creative works that they produce, things like creating Wi-Fi for their entire “desa” (village), producing artworks, performances, music, getting into science and tech, in a place that typically would not be a center of learning, “desa yang agak terpencil” (a remote village). It was a really inspiring place and that's why I see these kids as such a wonderful model for how education can be an empowering and liberating practice.