Pejabat Wali Kota Salatiga, Sinoeng N Rachmadi, didampingi Kepala Dinas Pendidikan Nunuk Dartini mengikuti Seminar Nasional dan Bedah Buku Pendidikan Yang Memerdekakan ala Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah. Kegiatan dilaksanakan di Mini Teater Bung Karno DPRD Kota Salatiga, Rabu (21/06/2023).



Ratusan peserta berkesempatan hadir dan 85 peserta dari dalam negeri dan luar negeri turut ikut melalui live zoom. Ketua DPRD Kota Salatiga selaku tuan rumah juga hadir dan memberikan sambutan.

Dalam sambutannya Dance Ishak Palit mengisahkan bagaimana orang-orang yang sukses utamanya dari Kota Salatiga adalah orang yang pendidikannya tidak tinggi. “Saya pernah ngobrol dengan pemilik Mr Piss terkait omzet berapa penjualan selama satu bulan. Ternyata bisa mencapai 700 juta per bulan bahkan saat lebaran tembus 1 miliar lebih. Pemilik Mr Piss ternyata tumbuh dengan kekuatan sendiri karena sejak kecil hidup sendiri. Dia bisa seperti itu dan mampu mengalahkan dirinya sendiri meski tidak mengenyam S1,” ungkap Dance.

“Bukan berarti pendidikan memerdekakan belum tentu menindas tapi belum memerdekakan. Kemarin saya juga memberikan pengarahan kepada mahasiswa UIN Salatiga yang akan melaksanakan PPL. Ada yang bertanya, Pak sekarang ini lapangan pekerjaan semakin kecil sedangkan lulusan semakin banyak bagaimana tanggapan ketua DPRD. Saya jawab paradigma tersebut harus diubah, lapangan kerja itu harus diciptakan bukan dicari,” tambahnya.

Moderator bedah buku adalah Alfian Hasan, turut memberikan sambutan Megan Hewitt, Hywel Coleman, pembicara Ahmad Bahrudin, dan pembedah buku Dr. Emiliasari Tauresia Kesuma, E. M.Pd.

Penjabat Wali Kota dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada Qaryah Thayyibah yang telah menyelenggarakan kegiatan. “Kemerdekaan belajar sesuai perkembangan zaman, meski konsep ini di kemudian hari belum tentu dipertahankan. Namun kurikulum merdeka saat ini adalah menjadi salah satu formula yang dinilai tepat dalam proses pendidikan. Saya kemarin bertemu dengan siswa di aryah Thayyibah, mengatakan kepada saya punya lukisan dan lukisan bagus, ada juga yang suka mengaransemen music. Dan saya juga diperlihatkan dokumen TV terkait proses perjalanan KB QT. Saya turut berbangga atas keberadaan KB QT. Saya tertarik, ternyata ada satu poin seminar ini dihadiri dari luar negeri, inilah mutiara kemerdekaan belajar dari Qt dari Salatiga,” ungkap Sinoeng.

Megan Hewitt menyampaikan pengalaman mau mengajar bahasa Inggris tapi malah sampai di Qaryah Thayyibah merubah skenario mengajar. “Saya hadir untuk menjadi guru tapi ternyata di QT adalah komunitas yang semua belajar sehingga proses belajar berubah menjadi proyek pembuatan film, anak-anak menulis skrip dengan Bahasa Inggris dan menyelesaikan dengan baik,” cerita Megan.

Dr. Emiliasari Tauresia Kesuma, E. M.Pd. menceritakan sebetulnya yang dilakukan QT banyak sekolah yang sama sekolah berbasis fasilitatif. “Maka di buku ini cerita sekolah kok mahal, sehingga pak Din mendirikan QT. Inspirasi yang diperoleh dari QT bahwa ini bukti dari merdeka belajar dan dampaknya. Bagaimana kita mendidik anak siap menghadapi hidup dan memiliki solusi bagi lingkungannya. sehingga muncul karya anak berupa buku dan kenapa ujian nasional ditolak,” bebernya.

Salah seorang penanya, Muhammad N Huda dari SMPN 5 terkait keterbatasan berinovasi. “Selama ini ada regulasi membatasi kami, meski hampir seolah telah menerapkan kurikulum merdeka. Bagaimana agar kita bisa berperan dalam menjalankan merdeka belajar tapi tidak melanggar regulasi,” tanya kepala sekolah SMPN 5 ini.

“Problem kita adalah memilih yang tidak merdeka dan memerdekakan. Misal aturan memakai sepatu hitam, padahal tidak ada relevansinya memakai sepatu dengan warna tertentu. Namun sekarang lebih longgar, dulu yang belum ada kurikulum mereka belajar saja anak QT sudah menulis buku menolak ujian nasional,” jawab Dr. Emiliasari Tauresia Kesuma, E. M.Pd.

Sumber; Humas Setda Salatiga